DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Merekam Sejarah dan Makna Melalui Lukisan

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Review Buku Imagination on the Shoulders of Giants: 300 Selected Paintings With Artificial Intelligence Assistance (2025)

ORBITINDONESIACOM - Tahun 2019, dunia tercengang saat nyala api melahap hutan Amazon—paru-paru planet ini—selama berbulan-bulan. 

Di Brasil saja, lebih dari 906.000 hektar hutan habis terbakar, dengan lebih dari 74.000 titik kebakaran, meningkat hampir 84% dari tahun sebelumnya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ijazah Jokowi Asli dan Lima Kesalahan Metodologis Tuduhan Palsu

Diperkirakan, ratusan juta pohon musnah, dan jutaan makhluk hidup kehilangan rumah, air, dan udara. Asapnya menyeberangi benua, hingga langit São Paulo menghitam di siang hari. Tapi yang lebih pekat dari asap adalah diam kita.

Amazon bukan sekadar hutan. Ia adalah penyeimbang iklim global. Ia menyerap karbon, mengatur curah hujan, dan menyimpan kehidupan purba yang belum sempat kita kenal. 

Kebakaran ini bukan bencana alam—ia adalah tragedi buatan manusia. Diawali oleh pembukaan lahan ilegal, ekspansi peternakan besar, dan dorongan ekonomi jangka pendek.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kampanye Negatif untuk Terpilih Menjadi Pemimpin

Nyala api raksasa itu adalah cermin kerakusan yang juga raksasa skalanya.

Saya rekam peristiwa ini dalam lukisan, dengan bantuan asisten AI. Saya hadirkan sepasang hewan jaguar yang kehilangan anaknya.

Juga ada di lukisan, burung-burung yang terbang tanpa arah. Dan seorang perempuan adat yang berdiri tak berdaya menyaksikan hutan leluhurnya musnah.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Universitas Harvard Memilih untuk Melawan Presiden Donald Trump

Jika Amazon mati, kita semua sesak napas.

Jika kita terus diam, bumi perlahan kehilangan detak jantungnya.

-000-

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menunggu Hasil Perang Melawan Korupsi Ala Presiden Prabowo Subianto

Lukisan tentang Amazon ini salah satu dari 300 karya terpilih dalam buku Imagination on the Shoulders of Giants. Ia merupakan hasil kurasi dari 600 lukisan yang saya ciptakan bersama AI antara 2022–2025.

Buku ini terbagi dalam 32 bab, masing-masing menyorot sisi penting dari sejarah dan batin manusia: dari teknologi, perang, cinta, spiritualitas, hingga krisis ekologis.

Namun Bab 16—“The Ruin of the Living Earth”—adalah elegi yang paling menyayat. Selain tragedi Amazon, bab ini memuat sepuluh lukisan kerusakan lingkungan terbesar dalam sejarah modern.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi Menjadi Saksi Zaman

Mereka bukan hanya bencana. Mereka adalah cermin batin kita yang diam, dan dunia yang luka.

Sepuluh lukisan ini adalah nisan visual dari tragedi yang pernah dan sedang berlangsung:

• Chernobyl, 1986: ledakan reaktor nuklir menewaskan ribuan jiwa, dan menyebar radiasi ke jutaan tubuh yang tak berdosa.

• Minamata, Jepang, 1956: ribuan lumpuh dan tewas karena limbah merkuri—lautan berubah jadi racun.

• Amazon, Brasil, 2019: ratusan juta pohon terbakar, jutaan spesies binasa—paru-paru bumi terbakar oleh api keserakahan.

• Laut Aral, Asia Tengah, 1980-an: lebih dari 90% volumenya menghilang, nelayan kehilangan lautnya.

• Deepwater Horizon, 2010: 4,9 juta barel minyak tumpah, menghancurkan laut Meksiko.

• Exxon Valdez, Alaska, 1989: 250.000 burung laut, paus, dan beruang tak sempat menyelamatkan diri.

• Lapindo, Indonesia, 2006: 60.000 orang kehilangan rumah, 12 desa tenggelam oleh lumpur panas.

• Great Smog of London, 1952: sekitar 12.000 jiwa meninggal karena kabut asap batubara.

• Lubang Ozon, abad ke-20: peningkatan kanker kulit, rusaknya ekosistem Arktik hingga Antartika.

• Fukushima, Jepang, 2011: gempa dan tsunami membunuh 18.500 orang dan memicu krisis nuklir global.

Lukisan-lukisan ini mengajak kita menatap luka bumi dengan mata terbuka dan hati bergetar.

Ini bukan sekadar masa lalu. Ini peringatan. Sebelum semuanya terlambat.

-000-

Saya tidak ingin lukisan-lukisan ini hanya tinggal di buku. Mereka kini hadir di delapan hotel di Jakarta dan Jawa Barat. 

Sebanyak 600 lukisan, hasil kolaborasi saya dengan AI, dipajang di lobi, koridor, dan kamar. Ia menjadikan hotel sebagai galeri yang hidup.

Mengapa hotel?

Karena hotel adalah tempat jeda. Di sanalah orang asing dan lokal bertemu, tubuh lelah beristirahat, dan pikiran perlahan membuka ruang renung.

Ketika lukisan hadir di antara tidur dan sarapan, check-in dan check-out, ia menyelinap ke dalam kesadaran. Bukan sebagai tontonan, tetapi lukisan itu menjadi teguran halus yang mendalam.

Hotel, dalam konsep saya, bukan lagi sekadar tempat menginap.

Ia adalah kanvas kesadaran kolektif.

Ia bukan museum yang kaku, melainkan ruang yang cair.

Di hotel yang juga menjadi galeri, seni, waktu, dan manusia bersilangan dalam keheningan sehari-hari.

-000-

Kolaborasi dengan AI dalam proses kreatif ini bukan sekadar eksperimen teknis. Setiap lukisan lahir dari dialog intens antara intuisi manusia dan kecerdasan mesin. 

Ini akan terjadi di depan. Kemungkinannya hanya masalah waktu saja. Misalnya, dalam lukisan  “Asap São Paulo", algoritma Generative Adversarial Network (GAN) menganalisis 12.000 foto satelit kebakaran Amazon. 

Ia lalu mengidentifikasi pola asap yang tak terlihat mata telanjang, seperti aliran karbon yang membentuk wajah manusia menangis. 

Ini pun akan terjadi. AI juga "belajar" dari 3.000 karya seni lingkungan klasik untuk merumuskan komposisi yang menyatukan keindahan dan kepedihan. 

Hasilnya bukan replika, melainkan bahasa visual baru: data menjadi metafora, piksel berubah menjadi tangisan. Inilah kekuatan kolaborasi manusia-AI.

Kita tak lagi hanya merekam sejarah, tetapi juga mengungkap dimensi tak kasatmata. Jejak kerakusan yang terpendam dalam setiap kepulan asap, atau detak jantung spesies yang menghilang dalam kebisuan statistik dapa divisualkan.

Saya percaya: melukis dengan AI bukan hanya tentang estetika. Ia juga  alat kesaksian.

Ia menyambungkan batin manusia dengan algoritma cerdas. Dan dari perpaduan itu lahirlah sesuatu yang lebih besar dari keduanya: kesadaran baru.

Buku ini, dan setiap lukisan di dalamnya, adalah doa visual untuk banyak peristiwa di zaman yang berubah cepat.

Datangnya AI yang bisa menjadi asisten berkarya, bukan akhir dari seni.

Ia adalah awal dari sejarah yang direkam oleh mesin, dibentuk oleh rasa, dan ditujukan untuk jiwa.

Karena satu gambar bisa menggugah lebih dalam dari seribu pidato.

Dan jika seni bisa menyelamatkan satu hati, maka ia juga bisa menyelamatkan bumi.

Seluruh 300 lukisan terpilih dalam buku ini dapat dinikmati secara lengkap, dalam bahasa Inggris, melalui tautan berikut:

https://drive.google.com/file/d/1N-QczIJJsXiG0lClSp1gyQS3tzsZ9qXd/view?usp=drivesdk

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1DyJn9FanD/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait