DECEMBER 9, 2022
Kolom

Gus Dur dan Jalan Sunyi Sang Intelektual

image
Gus Dur sebagai intelektual (Foto: Abdul Karim)

"True religion is not what you adhere to; it is what you live for others." – Wilfred Cantwell Smith

ORBITINDONESIA.COM - Dalam lembar-lembar biografi singkat tentang Gus Dur, bukan sekadar sejarah pribadi seorang tokoh yang lahir di Jombang pada 1940 dan wafat di Ciganjur pada 2009 yang terpapar, melainkan jejak intelektual yang melampaui garis-garis kekuasaan, menembus batas identitas, dan menyalakan suluh bagi yang terpinggirkan.

Gus Dur tidak hanya dikenal sebagai kiai, aktivis, presiden, atau budayawan. Ia adalah sosok yang merepresentasikan etos intelektual seperti yang dibayangkan Edward Said: seorang yang memilih menjadi saksi atas kebenaran, bukan penjaga kekuasaan; seorang yang tidak tunduk pada suara mayoritas ketika suara itu mengandung ketidakadilan, melainkan justru berdiri di sisi minoritas dan korban untuk menyuarakan keadilan yang lebih luas.

Baca Juga: Sinta Nuriyah Bakal Bangun Diorama Gus Dur Bekerja Sama dengan Arsip Nasional Republik Indonesia

Representasi Gus Dur sebagai intelektual yang berada di luar lingkaran kekuasaan justru diperlihatkan bahkan ketika ia berada di pusat kekuasaan itu sendiri. Menjadi presiden tidak membuatnya larut dalam romantisme jabatan. Ia justru memperlakukannya sebagai medium pembebasan, bukan kekuasaan itu sendiri.

Ketika banyak elite politik ingin menundukkan hak-hak minoritas atas nama stabilitas, Gus Dur sebaliknya mengangkat derajat mereka. Keputusannya mencabut Inpres No. 14/1967 tentang pelarangan kebudayaan Tionghoa, misalnya, adalah tindakan simbolik yang memperlihatkan keberaniannya melawan arus dominan dalam masyarakat.

Dalam pandangan Charles Taylor, tindakan semacam itu adalah bentuk paling tulus dari politics of recognition—pengakuan bahwa martabat manusia tidak dapat direduksi oleh identitas dominan semata.

Baca Juga: Dianggap Berpolitik Praktis, Aliansi Santri Gus Dur Menggugat Tuntut Gus Yahya Mundur dari Kepengurusan PBNU

Taylor menekankan bahwa dalam masyarakat majemuk, keadilan bukanlah kesetaraan formal yang buta terhadap identitas, tetapi pengakuan atas keragaman yang melekat pada setiap kelompok manusia.

Gus Dur memahami bahwa menjadi warga negara Indonesia berarti juga menjadi bagian dari simpul-simpul budaya, agama, dan keyakinan yang beragam. Itulah sebabnya, perjuangannya terhadap kaum minoritas, baik itu Ahmadiyah, etnis Tionghoa, maupun kelompok Kristen di daerah konflik, bukan didorong oleh semata-mata keberpihakan sektarian, melainkan oleh pengakuan atas hak eksistensial manusia untuk dihargai dalam identitas yang melekat padanya.

Namun pengakuan semacam itu tidak datang tanpa risiko. Gus Dur membayar mahal sikap independennya. Dalam pidatonya, tulisan-tulisannya, dan tindakan politiknya, ia sering berseberangan dengan suara mayoritas, bahkan dengan suara yang mengatasnamakan umat Islam.

Baca Juga: Aliansi Santri Gus Dur Tuntut Gus Yahya dan Gus Ipul PBNU Mundur

Tetapi seperti yang dikatakan Said, intelektual sejati adalah mereka yang tidak menyesuaikan diri dengan kenyamanan massa, melainkan yang berani menghadapi ketidaknyamanan karena memperjuangkan kebenaran. Gus Dur menjadi figur semacam itu—yang menyuarakan apa yang tak ingin didengar, yang menulis apa yang tak ingin dibaca oleh para penguasa dan penyokong status quo.

Halaman:

Berita Terkait