DECEMBER 9, 2022
Kolom

Gus Dur dan Jalan Sunyi Sang Intelektual

image
Gus Dur sebagai intelektual (Foto: Abdul Karim)

Dalam kerangka pemikiran Michael Walzer, Gus Dur memainkan peran sebagai penafsir sosial, bukan sekadar pencipta teori. Ia tidak membangun masyarakat ideal dari angan-angan abstrak, tetapi menginterpretasikan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang sudah hidup dalam masyarakat, lalu mengartikulasikannya menjadi kritik sosial yang membebaskan.

Walzer menyebut kritik sosial yang berangkat dari penafsiran nilai-nilai bersama sebagai cara paling jujur untuk menantang status quo tanpa menjadi asing bagi masyarakatnya sendiri.

Gus Dur, dengan latar belakang pesantren dan pemahaman sufistiknya, mampu menghidupkan tradisi kritik keagamaan dari dalam, bukan dari luar. Ia tidak menggugat Islam sebagai agama, tetapi menantang penafsiran sempit yang menjadikan agama sebagai alat eksklusivisme.

Baca Juga: Sinta Nuriyah Bakal Bangun Diorama Gus Dur Bekerja Sama dengan Arsip Nasional Republik Indonesia

Dari sinilah Gus Dur memperlihatkan bahwa menjadi seorang pemikir muslim tidak berarti menutup diri dari pluralitas. Sebaliknya, dari dalam tradisi Islam yang mendalam itulah ia membangun jembatan menuju kebudayaan lain. Dalam ceramahnya, ia bisa menyitir Al-Ghazali dan Kiai Kholil, tapi dalam waktu yang sama ia bisa memuji kisah hidup Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela.

Ia menyukai wayang, musik klasik Barat, dan sastra Rusia. Dunia baginya adalah ruang tafsir yang luas, bukan batas identitas yang sempit.

Hal ini mengingatkan pada gagasan Charles Taylor bahwa manusia modern menciptakan jati dirinya dalam dialogical space—ruang dialogis yang terbentuk dari hubungan dengan yang lain. Dalam Gus Dur, ruang itu tidak hanya dibuka, tetapi dihuni dengan semangat kelakar, ketulusan, dan keteguhan.

Baca Juga: Dianggap Berpolitik Praktis, Aliansi Santri Gus Dur Menggugat Tuntut Gus Yahya Mundur dari Kepengurusan PBNU

Ketika kita membaca kisah hidup Gus Dur dalam narasi biografi tersebut, kita tidak sedang membaca kronologi seorang tokoh semata. Kita sedang menyaksikan etika keberanian yang diterjemahkan dalam tindakan nyata. Gus Dur bukan sekadar memiliki pemikiran progresif—ia hidup di dalamnya.

Ketika kelompok-kelompok fanatik mencoba menutup ruang diskusi, Gus Dur membukanya. Ketika simbol-simbol agama dijadikan alat kekuasaan, ia merelatifkannya.

Dalam salah satu anekdotnya, ia pernah mengatakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela, karena Tuhan bukan makhluk lemah. Pernyataan ini, meski tampak seperti humor, sejatinya adalah pernyataan etis mendalam yang menentang teokrasi dan menjunjung kebebasan berpikir.

Baca Juga: Aliansi Santri Gus Dur Tuntut Gus Yahya dan Gus Ipul PBNU Mundur

Itulah mengapa Gus Dur tidak nyaman dalam sistem politik yang hanya mengedepankan loyalitas buta. Ia percaya bahwa demokrasi bukan sekadar mekanisme kekuasaan, tetapi ruang kebajikan moral yang mensyaratkan keberanian untuk berbeda.

Halaman:

Berita Terkait