DECEMBER 9, 2022
Kolom

Gus Dur dan Jalan Sunyi Sang Intelektual

image
Gus Dur sebagai intelektual (Foto: Abdul Karim)

Dalam hal ini, pemikiran Edward Said tentang intelektual sebagai eksil menjadi sangat relevan. Said menggambarkan intelektual sebagai seseorang yang tidak punya rumah di struktur kekuasaan, yang justru menjadikan ketidaknyamanan sebagai rumah intelektualnya.

Gus Dur pun, secara simbolik, adalah seorang eksil. Ia tidak bisa nyaman di istana. Ia juga tidak bisa tunduk dalam organisasi keagamaan ketika suara nuraninya menuntut pembelaan atas mereka yang ditindas.

Sikap kritis Gus Dur bukan hanya ditujukan kepada rezim Orde Baru, tetapi juga kepada pemikir Islam konservatif, elite partai, bahkan kepada institusi keagamaan yang pernah membesarkannya. Ia percaya bahwa semua institusi, betapapun keramatnya, harus selalu bersedia dikritik, karena kekuasaan cenderung menyimpang.

Baca Juga: Sinta Nuriyah Bakal Bangun Diorama Gus Dur Bekerja Sama dengan Arsip Nasional Republik Indonesia

Dalam satu tulisannya, Gus Dur menyebut bahwa tradisi harus dihidupkan, bukan dikeramatkan. Kalimat itu adalah bentuk paling radikal dari semangat interpretatif yang dibayangkan oleh Michael Walzer: menjadikan tradisi bukan sebagai dogma, tetapi sebagai sumber kritik sosial yang terus bergerak.

Dalam konteks Indonesia yang penuh luka identitas dan sejarah represi, Gus Dur berdiri sebagai pengingat bahwa keislaman dan kebangsaan tidak harus menjadi kutub yang saling meniadakan. Ia justru merangkai keduanya dalam tenun yang saling menguatkan.

Ia menunjukkan bahwa menjadi religius tidak berarti menjadi eksklusif, dan menjadi nasionalis tidak berarti sekuler dalam pengertian memusuhi agama. Identitas bagi Gus Dur bukan sesuatu yang tertutup, melainkan terbuka untuk tafsir dan perjumpaan. Di sinilah, sekali lagi, kita melihat bagaimana pemikiran Charles Taylor tentang pengakuan menjadi tubuh dalam cara Gus Dur menjalani hidupnya.

Baca Juga: Dianggap Berpolitik Praktis, Aliansi Santri Gus Dur Menggugat Tuntut Gus Yahya Mundur dari Kepengurusan PBNU

Gus Dur tidak mewariskan sistem filsafat, tetapi ia mewariskan jejak moral. Ia tidak membangun institusi besar, tetapi ia meninggalkan jejak keberanian untuk bersuara ketika kebanyakan orang memilih diam. Dan justru di titik inilah ia menunjukkan kualitasnya sebagai seorang intelektual publik.

Bukan dengan retorika akademik yang tinggi, melainkan dengan tindakan-tindakan nyata yang menyentuh mereka yang paling membutuhkan: dari rakyat miskin di daerah konflik, hingga komunitas-komunitas keagamaan yang tertindas oleh mayoritas.

Kini, ketika wacana politik identitas kembali merebak, ketika agama sering dijadikan alat pemisah ketimbang pemersatu, ingatan akan Gus Dur menjadi sangat relevan. Bukan sebagai sosok suci yang tak punya cela, tetapi sebagai manusia yang berani gagal demi prinsip yang ia yakini.

Baca Juga: Aliansi Santri Gus Dur Tuntut Gus Yahya dan Gus Ipul PBNU Mundur

Seperti yang dikatakan Wilfred Cantwell Smith, agama sejati bukanlah apa yang kita anut, melainkan apa yang kita perjuangkan untuk orang lain. Gus Dur, dengan segala kontroversi dan kebijaksanaannya, telah mewujudkan kalimat itu dalam hidupnya—dalam jalan sunyi yang ia pilih sebagai seorang intelektual, sebagai manusia, sebagai pejuang kemanusiaan.

Halaman:

Berita Terkait