
Dan dalam termangu, dibacanya doa
Seperti dulu. Doa pertama,
yang diajarkan Ayah, menjelang senja
Lima tahun saat itu usianya.
Duduk berdua, di sudut beranda.
Ihdinaashshiraathalmustaqiim
shiraathalladziinaan’amta’alayhim
ghayrilmaghdhuubi’alayhim
walaadhdhaalliin
Amiin.
Dulu tiap hari tiap waktu
Ia baca doa itu.
Baca Juga: Puisi Esai Mila Muzakkar: Pejuang Keadilan Itu Bernama Marsinah
Dipinta Ayah dipinta Ibu.
Dipinta Nenek, kakek, dan guru.
Dipinta sekolah, dipinta madrasah
Hingga tiba satu masa
Darta berontak ingin merdeka
Ia berteriak: Tidaaaaakk!!!
Dalam pengap dan sunyi
Pada langit dan bumi.
Darta pun tumbuh dewasa.
Ilmu menjadi kacamata
Dilacaknya realitas di balik doa
Ia selami filsafat, sejarah, dan sastra
Ia tekuni ilmu mumpuni
Khasanah sains dan teknologi.
Ternyata, ternyata, ternyata,
Bukan Tuhan yang mencipta manusia.
Tapi manusia yang ciptakan Tuhan-nya!
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mereka Menemukan Cinta dan Menikah dalam Komunitas Puisi Esai
Sejak itu, doa itu dirobek-robeknya
Serupa mainan kanak yang mesti dilupa
Bukankah ia manusia dewasa?
Mainan kanak tak bisa menipunya!
Tapi kini, di dini hari usia
Ia bukanlah Darta muda
yang merasa gagah dewasa,
tapi Darta yang perlahan menua
Darta yang telah mengembara
Dan kembali ke titik mula.
Darta yang kosong, sunyi, hampa
Jantung menjerit merindu takwa
Dalam keluh ingin teguh
Berserah diri penuh seluruh.
Doa itu tiba
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA Menyambut Waisak: Bunga Meditasi untuk Tina Turner
Tanpa diminta siapa-siapa.
Berdenyut di nadi, bergema di dada
Pelan menetes bersama airmata.
Tuhanku
Izinkan si anak hilang
Kembali pulang
Ke rumah kasih-Mu.