Isu Pemakzulan Versus Penegakan Konstitusi di Negara Demokrasi
- Penulis : M. Ulil Albab
- Senin, 28 April 2025 04:40 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Dalam setiap babak sejarah bangsa, selalu muncul dinamika yang menguji kedewasaan berdemokrasi. Pemakzulan versus penegakan konstitusi adalah isu yang kemudian relevan untuk wacana yang ditujukan kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dilontarkan oleh sebagian kalangan.
Sejumlah pihak melihat wacana pemakzulan ini mencerminkan ketegangan yang wajar dalam masa transisi kepemimpinan.
Namun demikian, dalam negara hukum yang berlandaskan konstitusi, setiap perdebatan tentang kekuasaan tetap harus ditempatkan dalam koridor aturan dasar yang telah disepakati bersama.
Indonesia bukan kumpulan kehendak politik yang dibingkai dalam motif persaingan. Negeri ini adalah tatanan komunitas hukum, sebuah bangsa yang menetapkan hukum sebagai panglima.
Dalam kerangka itu, mekanisme pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden bukanlah sesuatu yang lahir dari tekanan sekelompok pihak, melainkan harus melalui jalur formal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 7A dengan jelas menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan atas usul DPR kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tuduhan dan terbukti melakukan pelanggaran berat, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, atau tindak pidana berat lainnya.
Baca Juga: Oposisi Korea Selatan Akan Mulai Pemakzulan Jika Presiden Yoon Suk Yeol Tidak Mau Mundur
Tanpa memenuhi syarat itu, setiap upaya pencopotan jabatan adalah bertentangan dengan semangat konstitusi.
Pro dan kontra memang merupakan kewajaran di negara demokrasi. Misalnya saja suara dari Koordinator Team Hukum Merah Putih, C. Suhadi, yang mengingatkan bahwa desakan yang muncul di luar mekanisme tersebut adalah tindakan yang melampaui batas-batas hukum.
Ia menegaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden yang dipersoalkan oleh sebagian pihak telah bersifat final dan mengikat.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Bertemu Partai Berkuasa PPP di Tengah Mosi Pemakzulan
Dengan demikian, seluruh rangkaian proses politik, mulai dari pencalonan, pemilihan, penetapan hasil, hingga pelantikan presiden dan wakil presiden, telah berlangsung sesuai dengan norma hukum yang berlaku.
Dalam konteks ini, mempertanyakan keabsahan jabatan wakil presiden, setelah pelantikan, hanya akan membuka luka yang tidak perlu dalam tubuh demokrasi.
Studi kasus
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Selamat dari Pemungutan Suara Pemakzulan di Parlemen
Memahami keberatan sebagian pihak perlu diwadahi dengan empati, karena tidak semua kekecewaan lahir dari niat buruk. Ada kalanya, ketidakpuasan bersumber dari kegelisahan yang mendalam tentang arah bangsa ke depan.
Rasa cemas dan ketidakpuasan, betapapun mendesaknya, tetap harus disalurkan melalui cara-cara yang konstitusional. Belajar dari kasus di negara demokrasi lainnya, misalnya Amerika Serikat, proses pemakzulan (impeachment) terhadap presiden atau wakil presiden pun diatur ketat dalam konstitusi.
Proses tersebut membutuhkan tuduhan serius, seperti pengkhianatan, penyuapan, atau kejahatan besar lainnya (high crimes and misdemeanors).
Baca Juga: Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol dan Kronologi Krisis Korea Selatan Pasca Darurat Militer
Sejarah mencatat, Presiden Andrew Johnson, Bill Clinton, dan Donald Trump pernah menghadapi upaya pemakzulan, namun tidak semua berujung pada pemberhentian karena prosedur hukum dan politik harus berjalan dengan standar bukti dan mekanisme yang ketat.
Penelitian oleh Gerhardt (1999) dalam "The Federal Impeachment Process" menggarisbawahi bahwa pemakzulan adalah alat untuk mempertahankan tatanan konstitusi, bukan sekadar ekspresi dari ketidakpuasan politik.
Setiap prosesnya harus berangkat dari bukti nyata dan tidak boleh sekadar menjadi instrumen politik partisan.
Baca Juga: Sidang Pemakzulan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol oleh Mahkamah Konstitusi Dimulai
Dalam konteks Indonesia, studi Prof. Jimly Asshiddiqie (2010) tentang "Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi" (2010) dan juga karya lainnya, seperti "Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi" menjelaskan bahwa amandemen UUD 1945 pasca-Reformasi (khususnya Pasal 7A dan 7B) merinci secara ketat prosedur pemakzulan untuk mencegah krisis politik.
Studinya menjelaskan bahwa pemakzulan bukanlah mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan politik biasa, melainkan untuk menegakkan akuntabilitas dalam pelanggaran berat.
Penelitian lain dari Yance Arizona dalam jurnal Constitutional Review (2017) juga menunjukkan bahwa praktik pemakzulan harus berlandaskan bukti hukum yang kokoh, bukan sentimen massa atau kegaduhan politik. Ia mengingatkan tentang bahaya penggunaan pemakzulan sebagai instrumen politik praktis.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Akan Bersaksi dalam Sidang Pemakzulan Dirinya
Penghormatan hukum
Demokrasi sejati mengajarkan bahwa mengenai ketidakpuasan pun memiliki aturannya. Demokrasi menegaskan bahwa penghormatan terhadap hukum menjadi syarat mutlak bagi ketertiban bersama.
Lebih jauh, dinamika ini mengajarkan bangsa Indonesia tentang pentingnya membangun kepercayaan terhadap institusi.
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Akhir Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol
Mahkamah Konstitusi, DPR, KPU, dan MPR adalah bagian dari bangunan besar demokrasi yang tidak boleh dirusak hanya karena ketidaksepahaman terhadap hasil yang ada dan sah secara konstitusi.
Membiasakan diri menghormati putusan institusi, meski terkadang berat, adalah bagian dari pendidikan politik yang harus terus ditumbuhkan di tengah masyarakat, apalagi mereka yang mengatasnamakan diri sebagai tokoh atau sekumpulan tokoh.
Wakil presiden terpilih saat ini sedang mengemban amanah, bukan hanya sebagai individu, melainkan sebagai simbol pilihan rakyat yang harus dihormati. Tugas yang diembannya ke depan tentu tidak ringan, karena harus menghadapi ekspektasi tinggi dari publik, sembari tetap menjaga harmoni di dalam pemerintahan.
Setiap upaya untuk menggoyahkan posisinya, tanpa dasar hukum, justru akan memperlemah kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri. Di tengah kegaduhan yang mungkin timbul, negara ini memerlukan ketenangan. Ketenangan dalam berpikir, dalam berbicara, dalam bertindak atau berekspresi.
Karena kekuatan sebuah bangsa tidak diukur dari seberapa keras suara yang bersilang pendapat, melainkan dari seberapa teguh rakyat dan pemimpinnya berpegang pada prinsip-prinsip keadilan dan hukum.
Kekuatan itu terletak pada kesediaan semua pihak untuk menahan diri, memproses perbedaan dengan arif, dan tetap setia pada janji kebangsaan yang telah diwariskan para pendiri republik ini.
Baca Juga: Masjid Istiqlal Disterilkan Jelang Salat Id yang Akan Dihadiri Presiden Prabowo dan Wapres Gibran
Indonesia telah melewati banyak ujian dalam perjalanan sejarahnya. Setiap generasi diberi tantangan untuk membuktikan apakah bangsa ini tetap mampu berjalan dalam koridor hukum atau tergelincir dalam pertikaian.
Ujian kali ini, mengenai wacana pelengseran wakil presiden, yang sebenarnya bukanlah tentang sosok Gibran semata, melainkan tentang kesetiaan bangsa ini pada konstitusi, pada akal sehat, dan pada komitmen bersama untuk menjaga persatuan di atas segala perbedaan.
Karena itu, dari pada memperpanjang polemik yang melelahkan, lebih bijak bagi semua elemen bangsa untuk kembali fokus pada tugas besar di depan mata untuk membangun negeri ini dengan kerja nyata, dengan dialog yang sehat, dan dengan penghormatan penuh terhadap hukum yang menjadi fondasi keberadaan bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
(Oleh Hanni Sofia) ***