DECEMBER 9, 2022
Kolom

Isu Pemakzulan Versus Penegakan Konstitusi di Negara Demokrasi

image
Presiden Prabowo Subianto (tengah) berbincang dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (kedua kiri), Menko Polkam Budi Gunawan (kanan), Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (kedua kanan), Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (kempat kanan), Mensesneg Prasetyo Hadi (ketiga kiri) dan Seskab Teddy Indra Wijaya (kiri) setibanya di Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa, 15 April 2025. Prabowo Subianto kembali ke tanah air setelah melakukan lawatan ke lima negara di Timur Tengah. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.

Dalam konteks ini, mempertanyakan keabsahan jabatan wakil presiden, setelah pelantikan, hanya akan membuka luka yang tidak perlu dalam tubuh demokrasi.

Studi kasus

Memahami keberatan sebagian pihak perlu diwadahi dengan empati, karena tidak semua kekecewaan lahir dari niat buruk. Ada kalanya, ketidakpuasan bersumber dari kegelisahan yang mendalam tentang arah bangsa ke depan.

Baca Juga: Partai Sayap Kiri Prancis Ancam Pemakzulan Presiden Emmanuel Macron Terkait Penunjukan Perdana Menteri

Rasa cemas dan ketidakpuasan, betapapun mendesaknya, tetap harus disalurkan melalui cara-cara yang konstitusional. Belajar dari kasus di negara demokrasi lainnya, misalnya Amerika Serikat, proses pemakzulan (impeachment) terhadap presiden atau wakil presiden pun diatur ketat dalam konstitusi.

Proses tersebut membutuhkan tuduhan serius, seperti pengkhianatan, penyuapan, atau kejahatan besar lainnya (high crimes and misdemeanors).

Sejarah mencatat, Presiden Andrew Johnson, Bill Clinton, dan Donald Trump pernah menghadapi upaya pemakzulan, namun tidak semua berujung pada pemberhentian karena prosedur hukum dan politik harus berjalan dengan standar bukti dan mekanisme yang ketat.

Baca Juga: Oposisi Korea Selatan Akan Mulai Pemakzulan Jika Presiden Yoon Suk Yeol Tidak Mau Mundur

Penelitian oleh Gerhardt (1999) dalam "The Federal Impeachment Process" menggarisbawahi bahwa pemakzulan adalah alat untuk mempertahankan tatanan konstitusi, bukan sekadar ekspresi dari ketidakpuasan politik.

Setiap prosesnya harus berangkat dari bukti nyata dan tidak boleh sekadar menjadi instrumen politik partisan.

Dalam konteks Indonesia, studi Prof. Jimly Asshiddiqie (2010) tentang "Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi" (2010) dan juga karya lainnya, seperti "Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi" menjelaskan bahwa amandemen UUD 1945 pasca-Reformasi (khususnya Pasal 7A dan 7B) merinci secara ketat prosedur pemakzulan untuk mencegah krisis politik.

Baca Juga: Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Bertemu Partai Berkuasa PPP di Tengah Mosi Pemakzulan

Studinya menjelaskan bahwa pemakzulan bukanlah mekanisme untuk menyelesaikan perbedaan politik biasa, melainkan untuk menegakkan akuntabilitas dalam pelanggaran berat.

Halaman:

Berita Terkait