Catatan Denny JA: Menuju Perang Dingin 2.0, dan Kekalahan Amerika Serikat?
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 11 April 2025 10:32 WIB

-000-
Namun, sejarah mencatat, kekuatan besar sering runtuh bukan karena lawan eksternal, tetapi akibat kelemahan internalnya sendiri (Allison, 2017).
China menghadapi tantangan besar: krisis demografi akibat kebijakan satu anak, ketergantungan tinggi pada ekspor yang membuatnya rentan terhadap fluktuasi global, serta ketimpangan ekonomi antarwilayah yang rawan gejolak sosial (Kissinger, 2011).
Baca Juga: Catatan Denny JA: 10 Pesan Spiritual Universal, Realitas Itu Bersifat Spiritual
Kontrol politik ketat China, meski efisien jangka pendek, berpotensi meredam inovasi jangka panjang. Regulasi ketat terhadap Alibaba dan Tencent merupakan contoh nyata.
Tantangan lingkungan dengan emisi karbon tertinggi di dunia juga memberi tekanan serius pada pertumbuhan ekonominya di masa depan.
Sebaliknya, Amerika Serikat masih punya harapan besar dalam inovasi teknologi dan budaya. Silicon Valley tetap menjadi pusat inovasi global, melahirkan Tesla, SpaceX, dan OpenAI yang mendominasi revolusi teknologi masa depan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyerukan Kebenaran dan Keadilan
Universitas seperti MIT, Stanford, dan Harvard terus menarik talenta terbaik dunia.
Amerika juga punya keunggulan soft power budaya melalui film, musik, dan media sosial yang hingga kini tak tertandingi China.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Janji Kampanye Donald Trump yang Menyulitkan Pemerintahan Baru
Pertarungan ini bukan sekadar duel dua raksasa, tetapi ujian bagi negara “kelas menengah” seperti Indonesia. Di tengah badai geopolitik, Indonesia memiliki kartu as: posisi strategis sebagai hub ekonomi digital Asia Tenggara (Google, Temasek, Bain & Company, 2023).