Sudah Tepatkah Sikap Presiden Prabowo Merespons Tarif Trump?
- Penulis : Abriyanto
- Kamis, 10 April 2025 04:20 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Cara Presiden Prabowo Subianto dalam menyampaikan sikap resmi Pemerintah RI atas kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) menarik untuk dikupas.
Berbeda dari kepala negara lainnya dalam merespons tarif Trump, Prabowo memilih menggelar acara komunikasi inklusif bertajuk Sarasehan Ekonomi. Forum terbuka ini juga menjadi upaya untuk mengikis anggapan tentang buruknya komunikasi pemerintahannya.
Jika Perdana Menteri Singapura Lawrance Wong memilih menyampaikan sikap negaranya dari sebuah ruang kerja sunyi yang menyerupai perpustakaan pribadi dan menyiarkannya melalui akun media sosial, Prabowo mengambil pendekatan yang kontras.
Baca Juga: PM Mark Carney: Kanada Perkuat Hubungan dengan "Sekutu Terpercaya seperti Prancis"
Dalam forum tersebut, ia mengundang para pelaku ekonomi dan memboyong jajaran kabinet untuk menjelaskan secara terbuka fondasi ekonomi nasional.
Presiden meminta seluruh pejabat berbicara secara detail, jernih, dan terbuka. Hadir di antaranya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa, dan Menteri Sosial Saifullah Yusuf. Mereka berbicara langsung kepada publik, bahkan membuka ruang dialog.
Langkah ini layak diapresiasi karena menunjukkan komitmen untuk membuka komunikasi publik secara inklusif. Meski sebagian kalangan menilai pendekatan semacam itu justru mencerminkan sikap impulsif dan kegagapan pemerintah dalam merespons krisis, keberanian untuk terbuka tetap layak dipuji.
Baca Juga: PM Kanada Mark Carney Iyaratkan Akan Ada Perundingan Dagang dengan AS
Presiden Prabowo layak mendapat apresiasi karena secara jujur dan terang menyatakan bahwa kebijakan tarif Trump telah menimbulkan ketidakpastian dan kecemasan global.
Setidaknya, ia tidak menyembunyikan kenyataan, melainkan berupaya menyampaikan bahwa Indonesia memiliki modal dasar untuk menghadapi ketidakpastian tersebut.
Setelah hampir sepekan mempersiapkan diri, Prabowo akhirnya menyampaikan sikap resmi Pemerintah untuk mengambil langkah yang tidak populer namun penuh perhitungan, memilih jalur negosiasi, bukan retaliasi, dalam menghadapi kebijakan tarif resiprokal Presiden Donald Trump.
Baca Juga: AISMOLI: Kebijakan Tarif Resiprokal Donald Trump Berpotensi Ganggu Industri Otomotif Tanah Air
Ketika negara-negara besar seperti Tiongkok dan Uni Eropa membalas kebijakan Washington dengan tarif tandingan dalam pusaran perang dagang global, Indonesia justru memilih bersikap hati-hati dan diplomatis.
Indonesia memutuskan bergabung dengan barisan negara-negara yang mengedepankan diplomasi dan jalan negosiasi dalam berhadapan dengan AS.
Strategi Bertahan
Baca Juga: Balasan untuk Trump, China Terapkan Tarif 34 Persen atas Produk Impor Asal AS
Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia dalam merespons kebijakan tarif AS melalui strategi diplomasi, perluasan kerja sama dagang, dan deregulasi kebijakan impor. Menurut dia, langkah tersebut turut membantu menjaga kepercayaan pasar di tengah ketidakpastian global.
"Dengan demikian, meskipun pasar global tengah bergejolak akibat eskalasi perang dagang, respons pasar yang relatif stabil terhadap Indonesia mencerminkan persepsi bahwa perekonomian domestik tetap tangguh dan adaptif menghadapi tekanan eksternal," ujar Josua.
Di permukaan, strategi ini mungkin tampak seperti kompromi, namun sesungguhnya merupakan bentuk pertahanan dalam lanskap global yang kerap berpihak pada negara besar dan menekan negara berkembang.
Baca Juga: PM Jepang Shigeru Ishiba Akan Sampaikan "Paket" Usulan Kepada Trump Terkait Pemberlakuan Tarif AS
Ini bukan kelemahan, melainkan kalkulasi politik-ekonomi yang berpijak pada realitas, tidak semua negara memiliki daya tawar simetris dalam sistem perdagangan global yang sarat kepentingan dan dominasi kekuasaan.
Kebijakan tarif Trump bukan semata urusan angka dan komoditas. Ia adalah manifestasi politik proteksionis dalam bentuk paling eksplisit, ekspresi nasionalisme ekonomi yang mengabaikan konsensus multilateral dan memaksa negara lain tunduk pada logika sepihak Amerika Serikat.
Seperti disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, tarif impor tinggi yang diterapkan Trump terhadap 60 negara tidak didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi yang rasional. "Yang penting tarif duluan. Karena tujuannya menutup defisit neraca dagang. Tidak ada ilmu ekonominya di situ," ujarnya dalam forum yang sama.
Baca Juga: Tarif Trump dan Peluang Baru Pariwisata di Tengah Krisis
Dalam situasi seperti ini, retaliasi atau pembalasan mungkin memuaskan secara emosional dalam jangka pendek, tetapi berisiko mengganggu stabilitas makro jangka panjang.
Indonesia tidak memiliki kapasitas fiskal maupun struktur ekonomi yang cukup tangguh untuk ikut serta dalam perang tarif tanpa dampak serius terhadap ekspor, defisit transaksi berjalan, dan ketahanan sektor manufaktur.
Namun, penting dicatat bahwa Indonesia tidak memilih diam. Strategi negosiasi bukanlah bentuk kepasrahan, tetapi cara untuk meminimalkan risiko sekaligus memaksimalkan peluang.
Baca Juga: Presiden Prabowo dan PM Malaysia Anwar Ibrahim Bahas Dampak Tarif Trump Terhadap ASEAN
Pemerintah mengarahkan respons ke jalur-jalur multilateral sembari memperkuat diplomasi bilateral dalam forum-forum dagang relevan. Ini adalah bentuk soft power resistance perlawanan yang elegan, bukan agresif. Tidak dramatis, tetapi kerap lebih efektif.
Indonesia memahami bahwa sebagai negara berkembang dengan ketergantungan tinggi pada pasar ekspor tertentu, bermain di dalam sistem lebih menjanjikan ketimbang melawannya secara terbuka.
Namun, pendekatan ini tentu tidak bebas risiko. Salah satunya adalah persepsi internasional bahwa Indonesia terlalu berhati-hati, bahkan defensif, dalam memperjuangkan kepentingan dagangnya.
Di tengah arus global yang dikuasai oleh bangkitnya ekonomi populis dan proteksionis, sikap terlalu moderat bisa ditafsirkan sebagai sinyal kelemahan. Investor global dan mitra dagang bisa saja menangkap pesan ini sebagai lemahnya posisi tawar Indonesia.
Di dalam negeri, tekanan terhadap pemerintah juga bisa datang dari kalangan pelaku usaha dan industri yang merasa tidak cukup dilindungi dari gempuran pasar yang timpang akibat kebijakan tarif sepihak.
Karena itu, pemerintah perlu menguatkan satu hal penting yakni narasi. Pemerintah harus secara aktif membentuk persepsi bahwa pilihan negosiasi bukan sekadar upaya menunda konflik, melainkan strategi cerdas dalam manajemen risiko geopolitik. Diplomasi dagang harus ditampilkan sebagai bagian dari pertahanan nasional di era ekonomi global.
Baca Juga: Donald Trump Mengancam Terapkan Tarif Baru 50 Persen untuk China
Memperkecil Ketergantungan
Menghadapi tarif Trump yang sejatinya adalah alat tekanan politik berkedok ekonomi, Indonesia memilih memperkuat posisinya dalam rantai nilai global dan membangun aliansi-aliansi baru untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tertentu. Inilah pesan utama yang perlu ditekankan, bertahan bukan berarti menyerah, dan diplomasi bukan berarti tunduk.
Pemerintah dapat menggunakan momentum ini untuk mempercepat konsolidasi industri dalam negeri, meningkatkan daya saing produk ekspor, dan membuka peluang diversifikasi pasar.
Dalam pandangan yang lebih luas, kebijakan tarif AS bisa dibaca sebagai peringatan keras bahwa era perdagangan bebas tanpa syarat telah usai. Negara-negara berkembang tidak bisa lagi bergantung pada stabilitas perjanjian global atau belas kasih kekuatan besar.
Mereka harus membangun kapasitas strategis dari dalam, memperkuat struktur produksinya, dan mengambil peran aktif dalam membentuk ulang arsitektur dagang dunia. Keputusan Indonesia untuk tidak membalas membuka ruang bagi reposisi strategis di kawasan.
Saat negara-negara lain sibuk membalas AS dengan kebijakan tarif tandingan, Indonesia dapat memanfaatkan ruang tersebut untuk memperkuat kerja sama ASEAN, intra-Asia, BRICS, menjalin kemitraan baru dengan Afrika, dan mempercepat keterlibatan dalam perjanjian regional seperti RCEP, bahkan menjajaki kerja sama lebih dalam dalam kerangka Indo-Pacific Economic Framework.
Baca Juga: Hikmahanto Juwana: Indonesia Tidak Perlu Kirim Tim Negosiasi atas Kebijakan Tarif Trump
Dalam konteks ini, strategi diam-diam bisa menjadi langkah catur jangka panjang yang menempatkan Indonesia sebagai jembatan ekonomi, netral tetapi berpengaruh.
Dengan demikian, sikap negosiasi yang diambil Indonesia bukan soal takut menghadapi Amerika, melainkan keberanian untuk berkata "tidak" dengan cara yang tidak destruktif.
Dalam geopolitik modern, siapa yang mampu menahan diri dan tetap rasional di tengah tekanan justru menunjukkan keunggulan strategi.
Baca Juga: Siapa Menang Dalam Perang Tarif AS - China yang Kian Brutal
Indonesia tidak membalas dengan tarif karena memilih menang di arena yang lain sembari membangun daya tahan nasional, memperkuat diplomasi dagang, dan memetik keuntungan dari stabilitas jangka panjang.
Ini bukan perang ekonomi. Ini adalah seni bertahan. Dan dalam seni itu, yang paling cerdas bukanlah yang paling keras, melainkan yang paling tenang saat badai datang.
(Oleh Hanni Sofia) ***