Puisi Esai Denny JA: Pejuang Itu Mati dalam Status Tahanan Politik
- Rabu, 05 Februari 2025 08:51 WIB
Keringatnya mengkristal di udara pengap,
menjadi garam yang tertinggal, saat laut mengering.
Ia mencium bau karat besi,
dan mendengar derit jeruji yang menyanyikan lagu tanpa kata.
Ia sakit, tetapi dokter hanya datang
ketika sakitnya telah menjadi lebih besar dari sel itu sendiri.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Berdirinya Partai Politik Pertama
-000-
Di Belanda, ia jatuh cinta.
Seorang perempuan mampu membaca diamnya,
lebih fasih dibanding ia membaca buku-buku yang terbuka.
Mereka menikah.
Seorang anak lahir,
menjadi cahaya bagi gelap pencariannya.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Awal Mawar yang Berduri
Cintanya adalah pelabuhan yang dikepung badai.
Penjara merampas segalanya.
Istrinya pergi ke Swiss, membawa anak mereka,
menjadi surat yang tak pernah sampai ke alamatnya.
Ia tetap tinggal, sendiri,
di antara dinding,
dan jeruji besi yang dingin.
Sangat dingin.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Aku dan Banjir Jakarta
Hanya satu nama yang terus ia sebut,
bukan nama seorang kekasih,
tetapi nama sebuah harapan.