BRICS dan Ramalan Politik Luar Negeri Soekarno
- Penulis : M. Imron Fauzi
- Jumat, 10 Januari 2025 05:28 WIB
Oleh Irsyad Mohammad*
ORBITINDONESIA.COM - Pada masa Presiden Soekarno ia menggagas sebuah teori geopolitik dunia untuk membangun “kekuatan ketiga” yang berisikan negara-negara berkembang yang disebutnya “New Emerging Forces” (NEFO) melawan “Old Established Forces” (OLDEFO) yang berisikan Blok Barat dan juga Blok Timur.
Ide untuk membuat sebuah kekuatan ketiga muncul lantaran dunia saat itu terbelah di masa Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Menurut Presiden Soekarno, meskipun negara-negara berkembang beberapa sudah ada yang merdeka namun ancaman penjajahan, kolonialisme dan imperialisme tetap muncul dalam bentuk baru yang disebutnya neo-kolonialisme dan neo-imperialisme (nekolim).
Baca Juga: Bob Randilawe: Pesan Ganjar Pranowo untuk Barisan Sukarnois
Menurutnya, OLDEFO akan berusaha menguasai negara-negara bekas jajahannya secara ekonomi, meskipun secara formal negara itu merdeka tapi secara ekonomi dan budaya tidak lagi berdaulat. Untuk itulah menurutnya negara-negara baru merdeka itu yang disebutnya NEFO harus bersatu padu untuk melawan OLDEFO dan ancaman nekolim.
Soekarno mencetuskan konsepnya To Build the World A New dalam Sidang Umum PBB ke-15, pada 30 September 1960. Pidato Soekarno tersebut mendapatkan sambutan sangat meriah di PBB, dunia ketiga yang kebanyakan adalah negara-negara baru merdeka dari kolonialisme Barat.
Pidato Soekarno memberikan angin segar kepada negara-negara Dunia Ketiga bahwa mereka dapat menjadi diri mereka sendiri tanpa harus masuk Blok Barat ataupun Timur. Soekarno memimpikan dunia di mana negara-negara berkembang dapat membuat kekuatan mereka sendiri, hal yang dirasa seperti khayalan belaka pada saat itu.
Baca Juga: Urgensi Gelar Bapak Bangsa untuk Sukarno
Indonesia pada masa Sukarno memang memainkan peran penting dalam geopolitik dunia, dengan mengadakan Konferensi Asia – Afrika (KAA). Juga Indonesia mendirikan Gerakan Non-Blok (GNB) yang menjadi kekuatan ketiga penyeimbang terhadap pengaruh Blok Barat dan Blok Timur.
Tidak berhenti sampai di situ, Soekarno melakukan gebrakan geopolitiknya yang agak avonturir dengan membuat Poros Jakarta – Hanoi – Peking – Pyongyang. Sayangnya poros ini dibuat serampangan dan terkesan gegabah hanya karena marah atas pembentukan negara Malaysia. Hal ini diperparah dengan keluarnya Indonesia dari PBB, 1 Januari 1965, hanya karena Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Soekarno yang sedemikian murka dengan PBB, mencoba langkah nekad untuk menandingi PBB. Pertama-tama Indonesia mencoba membuat olimpiade sendiri untuk menandingi olimpiade yang ada dengan membuat Games of New Emerging Forces (GANEFO).
Bersama dengan Poros Jakarta – Hanoi – Peking – Pyongyang, Sukarno mencoba membuat PBB-nya yaitu The Conference of the New Emerging Forces (CONEFO) dan sudah dibuat gedungnya di Senayan yang sekarang dipakai sebagai Gedung DPR dan MPR RI.
CONEFO sendiri dibuat sebagai PBB baru, khusus negara-negara NEFO melawan PBB yang dianggap olehnya dikuasai OLDEFO. Tiga negara yang diajak membuat poros oleh Soekarno yakni Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara, sebelum unifikasi dengan Vietnam Selatan), Republik Rakyat Tiongkok, dan Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara) yang mana ketiganya bukan anggota PBB pada saat itu, ketiganya ditolak masuk PBB karena veto dan lobbi Blok Barat.
Hanya Indonesia yang menjadi anggota PBB, jadi bisa kita katakan dari 4 negara tersebut hanya ada 1 negara resmi yaitu Indonesia dan sisanya 3 negara ilegal. Indonesia melakukan langkah nekad dengan keluar dari PBB agar solider dengan 3 negara tersebut. Langkah yang malahan membuat Indonesia makin terisolir dengan dunia internasional.
Baca Juga: Catatan Ekonomi KADIN Indonesia: Indonesia dan BRICS
Petualangan politik luar negeri Indonesia kemudian untuk membentuk kekuatan politik dunia berlangsung dengan pil pahit kegagalan. Percobaan politik luar negeri dan avonturismenya Presiden Soekarno, pada akhirnya membuat Indonesia jatuh pada instabilitas politik dalam negeri.
Hal ini yang turut membuat Presiden Soekarno jatuh dari kekuasaannya pada 12 Maret 1967. Ketika Soekarno jatuh dari kekuasaannya ekonomi Indonesia morat-marit dan situasi dalam negeri tidak stabil. Bahkan sudah menjadi rahasia umum ada campur tangan Amerika Serikat dalam transisi kekuasaan dari masa Soekarno menuju Orde Baru.
Presiden Soeharto mengambil langkah yang lebih hati-hati dalam politik luar negerinya. Di masa Presiden Soeharto Indonesia dekat dengan Blok Barat karena politik anti-komunis Soeharto, juga Indonesia membuka diri untuk investasi Barat.
Baca Juga: Sekjen OECD Mathias Cormann Tegaskan: Minat Indonesia Ikut BRICS Tak Pengaruhi Aksesi ke OECD
Selama Perang Dingin, Indonesia melaksanakan agenda Blok Barat melawan komunisme dengan mencaplok Timor-Timur dan menjadikan Timor-Timur sebagai Provinsi ke-27 Indonesia. Juga membantu Kamboja di masa Rezim Lon Nol dalam melawan Khmer Merah dan membantu mujahidin Afghanistan melawan Uni Soviet dengan mempersenjatai diam-diam menggunakan senjata AK-47.
Meski bersikap anti-komunis, rupanya Suharto tidak memutus hubungan diplomatik dengan Uni Soviet dan Blok Timur. Soeharto hanya memutus hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Namun Indonesia tetap berkomitmen pada kebijakan One China Policy dan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Taiwan. Padahal saat itu Amerika Serikat masih mengakui Taiwan sebagai penguasa sah atas Tiongkok.
Pada awalnya rezim Orde Baru memang menjaga jarak dengan negara-negara komunis. Belakangan hal ini berubah, Indonesia lebih komit pada politik bebas aktif. Saya kaget ketika saya membaca otobiografi Suharto, Suharto: Ucapan, Pikiran, & Tindakan Saya (1989).
Baca Juga: Dino Patti Djalal: Adaptasi Cepat Pemerintah Prabowo Menjamin Aksesi OECD dan BRICS Lancar
Selama pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto sendiri pernah berkunjung ke negara-negara komunis seperti Rumania dan Hungaria. Politik anti-komunis Soeharto tidak membuat Soeharto benar-benar memutus hubungan dengan negara-negara komunis. Di kemudian hari pada tahun 1989, Presiden Soeharto berkunjung ke Uni Soviet dan pada tahun 1990 Indonesia melakukan normalisasi hubungan dengan Tiongkok.
Presiden Soeharto pun tetap berkomitmen pada politik luar negeri anti-penjajahan dengan menolak membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah apartheid Afrika Selatan dan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Juga dalam konflik Argentina – Inggris dalam Perang Malvinas, Presiden Soeharto mendukung penuh Argentina dalam perang melawan Inggris tersebut.
Kita bisa melihat tidak semua agenda Blok Barat didukung penuh oleh Presiden Soeharto. Setelah lama bersikap hati-hati dalam politik luar negeri, saat ekonomi Indonesia dirasa sudah siap dan diprediksi sebagai “Macan Asia” kemudian Presiden Soeharto mencoba membuat Indonesia tampil lebih serius dalam percaturan politik dunia.
Baca Juga: Donald Trump Ancam Negara-negara BRICS Agar Batalkan Rencana Membuat Mata Uang Alternatif
Presiden Soeharto terpilih menjadi Sekjen Gerakan Non-Blok (GNB) untuk periode 1992 – 1995. Pada saat itu Soeharto sudah tampil menjadi tokoh dunia dengan datangnya Presiden Suharto ke Bosnia-Herzegovina pada tahun 1995 dan membangun masjid di sana.
Runtuhnya Uni Soviet dan hancurnya Blok Timur, juga bubarnya Yugoslavia membuat arah politik luar negeri dunia berubah. Amerika Serikat tidak lagi memandang perlu untuk memelihara diktator anti-komunis. Menurut Amerika Serikat, “tatanan dunia baru” sudah muncul di mana sudah saatnya demokratisasi terjadi di dunia.
Amerika Serikat mulai mencabut dukungannya kepada diktator pro-Barat dan anti-komunis yang sebelumnya dibacking Amerika Serikat. Amerika Serikat mencabut dukungannya kepada para diktator anti-komunis di Amerika Latin dan Afrika, juga Amerika Serikat mulai melakukan embargo senjata pada Indonesia di tahun 1995 di bawah pemerintah Presiden Bill Clinton. Clinton menganggap Suharto diktator dan melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur.
Baca Juga: China Tanggapi Ancaman Donald Trump pada Negara-negara BRICS tentang Mata Uang Alternatif
Walhasil Indonesia sempat kelimpungan akibat embargo senjata dari Amerika Serikat. Pelan-pelan Amerika Serikat mulai menarik dukungannya dari Presiden Suharto, hingga puncaknya tahun 1998. Presiden Suharto tidak punya pilihan lain kecuali berhenti pada 21 Mei 1998 akibat Krisis Finansial Asia 1997 dan juga gelombang protes mahasiswa yang memintanya untuk mengundurkan diri.
Setelahnya Indonesia kemudian mengalami Reformasi sejak 1998, Indonesia dikenai tuntutan untuk Referendum Timor Timur oleh dunia internasional. Juga banyak masalah separatisme, pelanggaran HAM, ekonomi, sosial-politik, hukum, hingga Indonesia banyak sibuk dengan urusan dalam negerinya sendiri.
Indonesia kemudian menata dirinya pelan-pelan untuk mengatasi masalah dalam negerinya. Juga Indonesia sibuk menata citranya di dunia internasional, sehingga investor yang banyak lari dari Indonesia pelan-pelan mulai masuk lagi. Oleh karenanya Presiden Indonesia pasca-Reformasi cenderung hati-hati dalam menetapkan kebijakan politik luar negeri Indonesia & cenderung main aman, menghindari masalah ataupun langkah beresiko.
Baca Juga: Yuri Ushakov: Indonesia Resmi Jadi Negara Mitra BRICS pada Januari 2025
Setelah 26 tahun lebih Reformasi akhirnya Indonesia mengambil satu langkah berani untuk bersikap dalam percaturan geopolitik dunia. Tentunya kali ini ekonomi Indonesia sudah lebih kuat dan kualitas SDMnya jauh lebih baik bila dibandingkan dengan zaman Sukarno dulu, karena pada saat itu Indonesia belum lama merdeka.
Tahun 2025 ini Indonesia akan memasuki usianya yang ke-80 pada 17 Agustus 2025 nanti. Tentunya keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, satu barisan dengan negara-negara berkembang dan mengusung konsep solidaritas global south mengingatkan kita akan perjuangan Sukarno dulu yang hendak mengajak solidaritas internasional dunia melawan nekolim.
Terlebih lagi banyak negara-negara anggota BRICS sendiri yang mendukung kemerdekaan Palestina, di mana Indonesia satu barisan dengan mereka. Indonesia pun tidak mengakui kemerdekaan Kosovo yang penduduknya mayoritas Muslim dan bersikap sama dengan mayoritas negara anggota BRICS, yang menganggap Kosovo adalah wilayah kedaulatan Serbia, Indonesia bahkan di PBB voting menolak
Baca Juga: Indonesia Resmi Bergabung Jadi Anggota Blok Ekonomi BRICS
Meski Perang Dingin sudah berakhir sejak bubarnya Uni Soviet pada 26 Desember 1991, kita mengalami sebuah era Perang Dingin II, terutama setelah adanya Perang Dagang AS – Tiongkok dan Perang Rusia – Ukraina. Selama masa Perang Dagang, Indonesia tidak mendapatkan limpahan investasi dari Amerika Serikat. Amerika Serikat serta bloknya banyak melakukan relokasi pabriknya dari Tiongkok ke Vietnam ataupun ke Malaysia, juga ke India.
Indonesia tidak dilirik sebagai tujuan investasi. Malahan Indonesia lebih banyak mendapatkan investasi dari Tiongkok, juga Indonesia sejak 2014 sudah terlanjur dianggap sahabatnya Tiongkok oleh Blok Barat. Tentunya hal ini membuat Indonesia tidak mendapatkan investasi yang serius dari Blok Barat, bahkan adanya omnibus law pun tidak menarik investasi Blok Barat.
Pada akhirnya kita sudah terlanjur dianggap circle-nya Tiongkok dan Rusia, jadi memang pada akhirnya benar pepatah “sudah nyemplung, berenang sekalian.” Indonesia sudah terlanjur basah, dianggap sahabatnya Tiongkok. Memang langkah yang tepat bergabung dengan BRICS. Tentu pada akhirnya Indonesia memang dituntut oleh zaman untuk bersikap.
Prinsip sepenuhnya “bebas aktif” tidak lagi relevan. Sebab yang bisa main 2 kaki ataupun bersikap kelihatannya “non-blok” ialah negara yang sudah masuk blok tertentu, seperti Turki di bawah Recep Tayyip Erdoğan yang sudah jelas-jelas Blok Barat namun dia bisa melipir sana-sini, banyak buat gerakan tambahan. Namun hal itu relatif ditoleransi, sebab Turki warnanya sudah kelihatan jelas.
Seperti juga Romania dulu di zaman Nicolae Ceaușescu meskipun anggota Pakta Warsawa dan jelas berada di bloknya Uni Soviet, namun Rumania melipir sana-sini dan sering main mata dengan Blok Barat. Meski main mata sana-sini, namun warna dari awalnya sudah jelas sehingga obrolan bisa disesuaikan. Beda dengan orang yang warna awalnya gak jelas, tentu dalam diplomasi harus menyesuaikan pembicaraan & hati-hati takut jadi barang liar.
Tentu keputusan Indonesia yang sudah kadung nyemplung, kemudian sekalian berenang adalah keputusan yang tepat. Sebab di dunia ini kita harus bersikap dan menentukan pilihan yang tegas dan jelas. Pastinya kita berharap keanggotaan Indonesia di BRICS bukan saja hanya seremonial semata, bahkan Indonesia tidak mengambil peran penting dan punya langkah strategis.
Sehingga Indonesia dapat berperan penting dalam keanggotaannya di BRICS dan sikap serta pendapat Indonesia didengarkan oleh anggota BRICS. Pada akhirnya kita tidak ingin keanggotaan Indonesia di BRICS seperti keanggotaan Inggris di Uni Eropa yang kalah pengaruh dengan Jerman yang menjadi decision maker paling utama di Uni Eropa.
Kesan seolah-olah Uni Eropa menjadi “blok politik milik Jerman” membuat banyak rakyat Inggris dan politisi Inggris jengah, akhirnya rakyat Inggris memilih keluar dari Uni Eropa lewat Referendum Brexit 2016. Tentu kita tidak ingin Indonesia di BRICS seperti Inggris di Uni Eropa yang tidak punya langkah strategis di Uni Eropa & tidak mendapatkan manfaat signifikan dari keberadaannya di Uni Eropa.
*Irsyad Mohammad, sejarawan Universitas Indonesia dan penyair puisi esai. ***