DECEMBER 9, 2022
Kolom

BRICS dan Ramalan Politik Luar Negeri Soekarno

image
Sejarawan UI Irsyad Mohammad (kiri). (Foto: Istimewa)

Kita bisa melihat tidak semua agenda Blok Barat didukung penuh oleh Presiden Soeharto. Setelah lama bersikap hati-hati dalam politik luar negeri, saat ekonomi Indonesia dirasa sudah siap dan diprediksi sebagai “Macan Asia” kemudian Presiden Soeharto mencoba membuat Indonesia tampil lebih serius dalam percaturan politik dunia.

Presiden Soeharto terpilih menjadi Sekjen Gerakan Non-Blok (GNB) untuk periode 1992 – 1995. Pada saat itu Soeharto sudah tampil menjadi tokoh dunia dengan datangnya Presiden Suharto ke Bosnia-Herzegovina pada tahun 1995 dan membangun masjid di sana.

Runtuhnya Uni Soviet dan hancurnya Blok Timur, juga bubarnya Yugoslavia membuat arah politik luar negeri dunia berubah. Amerika Serikat tidak lagi memandang perlu untuk memelihara diktator anti-komunis. Menurut Amerika Serikat, “tatanan dunia baru” sudah muncul di mana sudah saatnya demokratisasi terjadi di dunia.

Baca Juga: Bob Randilawe: Pesan Ganjar Pranowo untuk Barisan Sukarnois

Amerika Serikat mulai mencabut dukungannya kepada diktator pro-Barat dan anti-komunis yang sebelumnya dibacking Amerika Serikat. Amerika Serikat mencabut dukungannya kepada para diktator anti-komunis di Amerika Latin dan Afrika, juga Amerika Serikat mulai melakukan embargo senjata pada Indonesia di tahun 1995 di bawah pemerintah Presiden Bill Clinton. Clinton menganggap Suharto diktator dan melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur.

Walhasil Indonesia sempat kelimpungan akibat embargo senjata dari Amerika Serikat. Pelan-pelan Amerika Serikat mulai menarik dukungannya dari Presiden Suharto, hingga puncaknya tahun 1998. Presiden Suharto tidak punya pilihan lain kecuali berhenti pada 21 Mei 1998 akibat Krisis Finansial Asia 1997 dan juga gelombang protes mahasiswa yang memintanya untuk mengundurkan diri.

Setelahnya Indonesia kemudian mengalami Reformasi sejak 1998, Indonesia dikenai tuntutan untuk Referendum Timor Timur oleh dunia internasional. Juga banyak masalah separatisme, pelanggaran HAM, ekonomi, sosial-politik, hukum, hingga Indonesia banyak sibuk dengan urusan dalam negerinya sendiri.

Baca Juga: Urgensi Gelar Bapak Bangsa untuk Sukarno

Indonesia kemudian menata dirinya pelan-pelan untuk mengatasi masalah dalam negerinya. Juga Indonesia sibuk menata citranya di dunia internasional, sehingga investor yang banyak lari dari Indonesia pelan-pelan mulai masuk lagi. Oleh karenanya Presiden Indonesia pasca-Reformasi cenderung hati-hati dalam menetapkan kebijakan politik luar negeri Indonesia & cenderung main aman, menghindari masalah ataupun langkah beresiko.

Setelah 26 tahun lebih Reformasi akhirnya Indonesia mengambil satu langkah berani untuk bersikap dalam percaturan geopolitik dunia. Tentunya kali ini ekonomi Indonesia sudah lebih kuat dan kualitas SDMnya jauh lebih baik bila dibandingkan dengan zaman Sukarno dulu, karena pada saat itu Indonesia belum lama merdeka.

Tahun 2025 ini Indonesia akan memasuki usianya yang ke-80 pada 17 Agustus 2025 nanti. Tentunya keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, satu barisan dengan negara-negara berkembang dan mengusung konsep solidaritas global south mengingatkan kita akan perjuangan Sukarno dulu yang hendak mengajak solidaritas internasional dunia melawan nekolim.

Baca Juga: Diskusi Satupena, Fachry Ali: Jokowi Berkuasa Ketika Pengaruh Kharismatik Sukarno Kian Berkurang di Kalangan Generasi Muda

Terlebih lagi banyak negara-negara anggota BRICS sendiri yang mendukung kemerdekaan Palestina, di mana Indonesia satu barisan dengan mereka. Indonesia pun tidak mengakui kemerdekaan Kosovo yang penduduknya mayoritas Muslim dan bersikap sama dengan mayoritas negara anggota BRICS, yang menganggap Kosovo adalah wilayah kedaulatan Serbia, Indonesia bahkan di PBB voting menolak

Halaman:

Berita Terkait