DECEMBER 9, 2022
Kolom

BRICS dan Ramalan Politik Luar Negeri Soekarno

image
Sejarawan UI Irsyad Mohammad (kiri). (Foto: Istimewa)

Meski Perang Dingin sudah berakhir sejak bubarnya Uni Soviet pada 26 Desember 1991, kita mengalami sebuah era Perang Dingin II, terutama setelah adanya Perang Dagang AS – Tiongkok dan Perang Rusia – Ukraina. Selama masa Perang Dagang, Indonesia tidak mendapatkan limpahan investasi dari Amerika Serikat. Amerika Serikat serta bloknya banyak melakukan relokasi pabriknya dari Tiongkok ke Vietnam ataupun ke Malaysia, juga ke India.

Indonesia tidak dilirik sebagai tujuan investasi. Malahan Indonesia lebih banyak mendapatkan investasi dari Tiongkok, juga Indonesia sejak 2014 sudah terlanjur dianggap sahabatnya Tiongkok oleh Blok Barat. Tentunya hal ini membuat Indonesia tidak mendapatkan investasi yang serius dari Blok Barat, bahkan adanya omnibus law pun tidak menarik investasi Blok Barat.

Pada akhirnya kita sudah terlanjur dianggap circle-nya Tiongkok dan Rusia, jadi memang pada akhirnya benar pepatah “sudah nyemplung, berenang sekalian.” Indonesia sudah terlanjur basah, dianggap sahabatnya Tiongkok. Memang langkah yang tepat bergabung dengan BRICS. Tentu pada akhirnya Indonesia memang dituntut oleh zaman untuk bersikap.

Baca Juga: Bob Randilawe: Pesan Ganjar Pranowo untuk Barisan Sukarnois

Prinsip sepenuhnya “bebas aktif” tidak lagi relevan. Sebab yang bisa main 2 kaki ataupun bersikap kelihatannya “non-blok” ialah negara yang sudah masuk blok tertentu, seperti Turki di bawah Recep Tayyip Erdoğan yang sudah jelas-jelas Blok Barat namun dia bisa melipir sana-sini, banyak buat gerakan tambahan. Namun hal itu relatif ditoleransi, sebab Turki warnanya sudah kelihatan jelas.

Seperti juga Romania dulu di zaman Nicolae Ceaușescu meskipun anggota Pakta Warsawa dan jelas berada di bloknya Uni Soviet, namun Rumania melipir sana-sini dan sering main mata dengan Blok Barat. Meski main mata sana-sini, namun warna dari awalnya sudah jelas sehingga obrolan bisa disesuaikan. Beda dengan orang yang warna awalnya gak jelas, tentu dalam diplomasi harus menyesuaikan pembicaraan & hati-hati takut jadi barang liar.

Tentu keputusan Indonesia yang sudah kadung nyemplung, kemudian sekalian berenang adalah keputusan yang tepat. Sebab di dunia ini kita harus bersikap dan menentukan pilihan yang tegas dan jelas. Pastinya kita berharap keanggotaan Indonesia di BRICS bukan saja hanya seremonial semata, bahkan Indonesia tidak mengambil peran penting dan punya langkah strategis.

Baca Juga: Urgensi Gelar Bapak Bangsa untuk Sukarno

Sehingga Indonesia dapat berperan penting dalam keanggotaannya di BRICS dan sikap serta pendapat Indonesia didengarkan oleh anggota BRICS. Pada akhirnya kita tidak ingin keanggotaan Indonesia di BRICS seperti keanggotaan Inggris di Uni Eropa yang kalah pengaruh dengan Jerman yang menjadi decision maker paling utama di Uni Eropa.

Kesan seolah-olah Uni Eropa menjadi “blok politik milik Jerman” membuat banyak rakyat Inggris dan politisi Inggris jengah, akhirnya rakyat Inggris memilih keluar dari Uni Eropa lewat Referendum Brexit 2016. Tentu kita tidak ingin Indonesia di BRICS seperti Inggris di Uni Eropa yang tidak punya langkah strategis di Uni Eropa & tidak mendapatkan manfaat signifikan dari keberadaannya di Uni Eropa.  

*Irsyad Mohammad, sejarawan Universitas Indonesia dan penyair puisi esai. ***

Baca Juga: Diskusi Satupena, Fachry Ali: Jokowi Berkuasa Ketika Pengaruh Kharismatik Sukarno Kian Berkurang di Kalangan Generasi Muda

Halaman:

Berita Terkait