BRICS dan Ramalan Politik Luar Negeri Soekarno
- Penulis : M. Imron Fauzi
- Jumat, 10 Januari 2025 05:28 WIB
CONEFO sendiri dibuat sebagai PBB baru, khusus negara-negara NEFO melawan PBB yang dianggap olehnya dikuasai OLDEFO. Tiga negara yang diajak membuat poros oleh Soekarno yakni Republik Demokratik Vietnam (Vietnam Utara, sebelum unifikasi dengan Vietnam Selatan), Republik Rakyat Tiongkok, dan Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara) yang mana ketiganya bukan anggota PBB pada saat itu, ketiganya ditolak masuk PBB karena veto dan lobbi Blok Barat.
Hanya Indonesia yang menjadi anggota PBB, jadi bisa kita katakan dari 4 negara tersebut hanya ada 1 negara resmi yaitu Indonesia dan sisanya 3 negara ilegal. Indonesia melakukan langkah nekad dengan keluar dari PBB agar solider dengan 3 negara tersebut. Langkah yang malahan membuat Indonesia makin terisolir dengan dunia internasional.
Petualangan politik luar negeri Indonesia kemudian untuk membentuk kekuatan politik dunia berlangsung dengan pil pahit kegagalan. Percobaan politik luar negeri dan avonturismenya Presiden Soekarno, pada akhirnya membuat Indonesia jatuh pada instabilitas politik dalam negeri.
Baca Juga: Bob Randilawe: Pesan Ganjar Pranowo untuk Barisan Sukarnois
Hal ini yang turut membuat Presiden Soekarno jatuh dari kekuasaannya pada 12 Maret 1967. Ketika Soekarno jatuh dari kekuasaannya ekonomi Indonesia morat-marit dan situasi dalam negeri tidak stabil. Bahkan sudah menjadi rahasia umum ada campur tangan Amerika Serikat dalam transisi kekuasaan dari masa Soekarno menuju Orde Baru.
Presiden Soeharto mengambil langkah yang lebih hati-hati dalam politik luar negerinya. Di masa Presiden Soeharto Indonesia dekat dengan Blok Barat karena politik anti-komunis Soeharto, juga Indonesia membuka diri untuk investasi Barat.
Selama Perang Dingin, Indonesia melaksanakan agenda Blok Barat melawan komunisme dengan mencaplok Timor-Timur dan menjadikan Timor-Timur sebagai Provinsi ke-27 Indonesia. Juga membantu Kamboja di masa Rezim Lon Nol dalam melawan Khmer Merah dan membantu mujahidin Afghanistan melawan Uni Soviet dengan mempersenjatai diam-diam menggunakan senjata AK-47.
Baca Juga: Urgensi Gelar Bapak Bangsa untuk Sukarno
Meski bersikap anti-komunis, rupanya Suharto tidak memutus hubungan diplomatik dengan Uni Soviet dan Blok Timur. Soeharto hanya memutus hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Namun Indonesia tetap berkomitmen pada kebijakan One China Policy dan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Taiwan. Padahal saat itu Amerika Serikat masih mengakui Taiwan sebagai penguasa sah atas Tiongkok.
Pada awalnya rezim Orde Baru memang menjaga jarak dengan negara-negara komunis. Belakangan hal ini berubah, Indonesia lebih komit pada politik bebas aktif. Saya kaget ketika saya membaca otobiografi Suharto, Suharto: Ucapan, Pikiran, & Tindakan Saya (1989).
Selama pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto sendiri pernah berkunjung ke negara-negara komunis seperti Rumania dan Hungaria. Politik anti-komunis Soeharto tidak membuat Soeharto benar-benar memutus hubungan dengan negara-negara komunis. Di kemudian hari pada tahun 1989, Presiden Soeharto berkunjung ke Uni Soviet dan pada tahun 1990 Indonesia melakukan normalisasi hubungan dengan Tiongkok.
Presiden Soeharto pun tetap berkomitmen pada politik luar negeri anti-penjajahan dengan menolak membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah apartheid Afrika Selatan dan tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Juga dalam konflik Argentina – Inggris dalam Perang Malvinas, Presiden Soeharto mendukung penuh Argentina dalam perang melawan Inggris tersebut.