DECEMBER 9, 2022
Kolom

Pergulatan Reinterpretasi: Ritual Pengurbanan Hewan pada Idul Adha

image
Albertus M. Patty

Kedua, pandangan Muhammadiyah. Pandangan ini menegaskan bahwa untuk kasus atau situasi tertentu, kurban hewan ini bisa digantikan oleh apa pun. Misalnya, diganti dengan sedekah. 

Bagi lembaga Muhammadiyah, reinterpretasi terhadap ritual kurban hewan masih mungkin dilakukan dengan mempertimbangkan konteks dan situasi yang ada. Dengan demikian, pandangan Muhammadiyah ini lebih kompromistis.

Ketiga, pandangan yang, Denny JA menyebutnya, esensialis. Pandangan ini muncul dari Shahid Ali Muttaqi. Bagi Ali Muttaqi, yang terpenting dalam kisah Nabi Ibrahim itu bukan fisik hewannya. 

Baca Juga: Kurban dan Cinta (Refleksi Hari Raya Idul Qurban)

Hewan bukan sesuatu yang sentral. Bagi Ali Muttaqi, yang sentral dalam peristiwa Nabi Ibrahim adalah ekspresi ketakwaan manusia kepada Allah. Ketakwaan dan cinta kepada Allah ini bahkan melebihi kecintaannya terhadap anak kandungnya sendiri. 

Secara implisit, Ali Muttaqi menegaskan ide yang berbeda total dengan MUI yang berpendapat bahwa hewan itu sesuatu yang sentral dalam ritus Idul Adha. 

Melalui pendekatan ini, Ali Muttaqi menegaskan bahwa aspek terutama dalam Idul Adha adalah panggilan untuk memperbarui dan memperkuat komitmen cinta dan takwa kepada Allah. 

Baca Juga: Renungan Iduladha: Akan Menguatkah Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama?

Denny JA sependapat dengan Ali Muttaqi yang menganggap kurban hewan bukanlah sesuatu yang esensial. Oleh karena itu, terbuka kemungkinan mengubah ritus pengorbanan hewan dalam perayaan Idul Adha dengan pengorbanan dalam bentuk-bentuk lainnya.

Denny JA sadar bahwa gagasan Shahid Ali Muttaqi ini belum cukup populer di Indonesia. Meski demikian, Denny yakin bahwa di masa depan pandangan Ali Muttaqi ini prospeknya semakin menguat karena tiga alasan. 

Pertama, dari segi filsafat tafsir. Kini lebih banyak orang mulai menggali kisah Nabi Ibrahim dan mencari pesan utamanya yaitu ketakwaan kepada Sang Kebenaran. 

Baca Juga: Mengapa Mengurung Pikiranmu di Sangkar?: Pengantar Buku Lukisan dengan Artificial Intelligence Karya Denny JA

Kedua, dari segi praktis. Bantuan kepada kaum fakir miskin disesuaikan dengan kebutuhan dan keperluan mereka. Misalnya, bisa berbentuk pemberian makanan, beasiswa sekolah, bantuan perawatan kesehatan, dan sebagainya. Tentu saja, bentuk bantuan seperti ini akan jauh lebih efektif dan bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan. 

Halaman:

Berita Terkait