Pergulatan Reinterpretasi: Ritual Pengurbanan Hewan pada Idul Adha
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Jumat, 09 Agustus 2024 08:35 WIB

Oleh: Albertus M. Patty
ORBITINDONESIA.COM - Denny JA melontarkan gagasan sekaligus pertanyaan provokatif dalam renungannya tentang Idul Adha. Esai Denny “Akan Menguatkah: Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama” seolah menggugat tradisi ritual penyembelihan hewan dalam perayaan Idul Adha.
Padahal, ritual agama ini sudah berlangsung ratusan tahun dan telah menjadi tradisi yang membeku. Bahkan, ritual penyembelihan hewan ini sudah dianggap sebagai sebuah ‘kebenaran’ yang tidak perlu lagi dipertanyakan keabsahannya. Umat harus mematuhi saja!
Baca Juga: Kurban dan Cinta (Refleksi Hari Raya Idul Qurban)
Gagasan Denny JA ini sah saja karena sesungguhnya tradisi keagamaan yang kita sakralkan pun merupakan hasil interpretasi manusia pada zamannya. Suatu tradisi bisa saja dibakukan, tetapi tidak boleh dibekukan.
Tradisi selalu berada dalam proses menjadi. Tradisi bisa berubah oleh karena perubahan konteks zamannya. Dalam perspektif itulah, menurut saya, Denny JA berani melontarkan gagasannya.
Pergulatan Pemikiran Denny JA
Baca Juga: Renungan Iduladha: Akan Menguatkah Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama?
Denny memulai renungannya dengan pertanyaan yang menantang pergulatan pemikiran. Pertanyaannya adalah: akankah tumbuh kesadaran yang semakin besar di kalangan cendekia Islam untuk memilih tafsir yang tidak menjadikan ‘sembelih hewan’ sebagai bagian dari ritus Idul Adha?
Diakuinya bahwa pertanyaannya ini muncul setelah membaca sebuah esai yang ditulis Shahid Ali Muttaqi dengan judul: An Islamic Perspective Against Animal Sacrifice.
Dalam menjawab pertanyaan di atas, Denny memaparkan bahwa sesungguhnya ada tiga paradigma penafsiran menyangkut ritus “penyembelihan hewan” saat Idul Adha.
Pertama, perspektif mainstream yang diwakili oleh MUI. Dalam perspektif ini, kurban hewan itu sentral dan menyatu dengan Idul Adha. Oleh karena itu, kurban hewan itu tidak bisa digantikan, apa pun alasannya. Kita bisa menyebut pendapat MUI ini sebagai pandangan yang statis.