DECEMBER 9, 2022
Kolom

Pergulatan Reinterpretasi: Ritual Pengurbanan Hewan pada Idul Adha

image
Albertus M. Patty

Ketiga, munculnya kesadaran dan gerakan manusia modern terhadap hak-hak hewan dan perlindungan terhadap keberlanjutan spesies makhluk hidup lainnya.

Nah, muncul pertanyaan menarik. Dari ketiga pandangan di atas, di mana kira-kira posisi Denny JA? 

Dalam esainya, terdapat kesan kuat Denny JA condong pada pandangan ketiga. Alasannya jelas, yaitu bahwa secara filosofis, praktis, dan moral, pandangan Shahid Ali Muttaqi lebih sesuai dengan spirit dan perkembangan zaman. 

Baca Juga: Kurban dan Cinta (Refleksi Hari Raya Idul Qurban)

Oleh karena itu, dia berharap sekaligus mendorong agar umat dan kaum intelektual Islam mampu membuka diri terhadap kemungkinan terjadinya perbedaan tafsir. Mereka harus berani memulai pergulatan intelektual dengan mempertanyakan dan bahkan menggugat tradisi ritual agama yang sudah tidak lagi sesuai dengan spirit zamannya.

Butuh Fundamen Teologis

Melalui esainya, Denny JA telah melakukan desakralisasi, bukan terhadap Idul Adha, tetapi terhadap tradisi ritual penyembelihan hewannya. 

Baca Juga: Renungan Iduladha: Akan Menguatkah Tafsir yang Tak Lagi Harus Hewan Dijadikan Kurban Ritus Agama?

Gerbang reinterpretasi terhadap ritual penyembelihan hewan ini sudah dia buka seluas-luasnya. Denny JA telah memulainya dengan memberi tiga alasan mengapa gagasan Shahid Ali Muttaqi akan terus bergulir dan semakin menguat. 

Ketiga catatannya lebih banyak menyangkut aspek yang pragmatis dan sekuler. Semuanya bagus dan sangat diperlukan. Meskipun demikian, menurut saya, ada yang perlu ditambahkan agar reinterpretasi terhadap ritual pengorbanan hewan bergulir dan semakin menguat.

Salah satu aspek yang paling dibutuhkan dalam proses reinterpretasi ritual keagamaan adalah perlunya fundamen teologis yang kokoh. Hal ini sangat penting. Tanpa adanya fundamen teologis yang kuat, proses pembaruan yang melecut reinterpretasi terhadap tradisi keagamaan akan menghadapi resistensi yang sangat kuat, baik dari umat maupun dari institusi keagamaan. Dengan demikian, reinterpretasi itu akan menemui jalan buntu. 

Baca Juga: Mengapa Mengurung Pikiranmu di Sangkar?: Pengantar Buku Lukisan dengan Artificial Intelligence Karya Denny JA

Sebaliknya, setiap proses reinterpretasi terhadap tradisi keagamaan pasti mendapatkan dukungan dari berbagai elemen keagamaan bila didasarkan pada fundamen yang kokoh. Saya akan berikan dua contoh dari pengalaman Kekristenan.

Halaman:

Berita Terkait