Zikir, Energi Batin, Sastra, Lukisan, Bisnis, dan Spiritualitas Denny JA
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 18 Maret 2024 11:30 WIB
Di samping menuntut ilmu di Universitas Indonesia, dia senang mengikuti kajian dan studi di luar kampus.
Sejauh yang saya ikuti, dia sering terlibat dalam kajian agama Nurcholish Madjid dan aktif dalam kelompok studi yang difasilitasi oleh tokoh modernis Islam Djohan Effendi.
Yang terakhir ini terkenal sejak namanya disebut dalam biografi pemikiran Achmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam yang diterbitkan pertama kali oleh LP3ES pada tahun 1983.
Baca Juga: Hanggoro Doso Pamungkas LSI Denny JA: Airlangga Hartarto Punya Kartu AS Untuk Cawapres
Wahib, Djohan, dan Dawam Rahardjo adalah tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada di era 1960-an yang merasa resah dengan “kemujudan” pikiran di HMI dan kemudian membuat kelompok studi Limited Grup di bawah asuhan Mukti Ali, menteri agama di masa awal Soeharto.
Mereka membiasakan diri untuk berpikiran bebas dan melepaskan diri dari pengaruh politik Islam Natsir dan Masyumi yang dirasakan gagal untuk membuat Islam berjaya.
Beberapa anak muda awal 1980-an, rutin berkunjung ke rumah Djohan dan membentuk kelompok studi. Karena Djohan tinggal di Jalan Proklamasi Jakarta Pusat, sehingga wadah mereka itu dinamakan Kelompo Studi Proklamasi (KSP).
Baca Juga: LSI Denny JA: Melebarnya Jarak Elektabilitas Prabowo Melawan Ganjar
Denny JA pernah menjadi ketua KSP. Di sanalah dengan beberapa orang teman, mereka berdiskusi dan bertukar pikiran. Tentu saja dalam aktivitas itu ada benturan-benturan pikiran dan tingkah laku. Semuanya itu berguna untuk mengembangkan dan memperbesar intelektualitas mereka.
Bisa dipahami, seperti Djohan yang adalah mentor mereka, anak-anak muda yang bergabung dalam KSP cenderung mengakrabi pemikiran Islam yang modern dan reformis. Kelompok reformis Islam itu dipelopori oleh Cak Nur yang kecewa terhadap peran politik Islam di awal Orde Baru yang kemudian menelorkan pikiran tentang sekularisasi politik bahwa “politik tidak selayaknya dikaitkan dengan agama”.
Agama akan kehilangan dimensi kesucian jika terus dikaitkan dengan politik. Karena itu perlu disosialisasikan: Islam Yes, Politik Islam No.”
Seperti diketahui sekularisasi politik Cak Nur itu menimbulkan kontroversi dan kehebohan yang sampai sekarang masih menyisakan residunya, walau kecil.