Catatan Denny JA: Tiga Dekade yang Mengubah Segalanya
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 28 Juli 2025 08:41 WIB

Mengapa Cina Mampu Melompat Jauh ke Depan? (2)
ORBITINDONESIA.COM - Pada suatu malam dingin di pinggiran Chongqing tahun 1998. Seorang anak lelaki berdiri di balkon apartemen sederhana lantai lima.
Ia menatap langit, mencari satu saja bintang di antara pekatnya asap pabrik dan lampu neon yang berkelebat dari kejauhan.
Tapi langit sudah lama kehilangan cahayanya. Kabut arang dan debu batubara telah menggantikan gugusan rasi bintang.
Ayahnya bekerja dua shift di pabrik tekstil. Sedangkan ibunya menjahit pakaian dari rumah, jarum dan benang sebagai senjata melawan nasib.
Mereka tak memiliki simpanan, apalagi warisan. Namun mereka menyimpan satu hal: harapan. Harapan bahwa hidup sang anak akan jauh lebih baik.
Dua dekade kemudian, anak itu mengenakan jas kelulusan dari Tsinghua University. Lalu ia bekerja sebagai insinyur pembelajaran mesin di perusahaan AI terbesar di Asia.
Ia masih tak pernah benar-benar melihat bintang. Tapi kini, ia menjadi bintang itu sendiri—cahaya kecil dari revolusi ekonomi terbesar abad ini.
-000-
Baca Juga: Riset LSI Denny JA: Publik Berharap Prabowo Subianto Jadi Bapak Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Sejak Deng Xiaoping membuka pintu Tiongkok kepada dunia pada 1978, negeri yang dulu dikenal karena revolusi dan kemiskinan berubah menjadi pabrik dunia.
Lalu negara itu menjelma menjadi laboratorium inovasi global.
Apa yang terjadi bukan hanya pertumbuhan, melainkan ledakan:
Baca Juga: Tahlilan, Merajut Doa Bersama Anak Yatim di Markas LSI Denny JA
• GDP per kapita naik dari USD 155 (1978) menjadi lebih dari USD 10.000 (2020).
• 800 juta orang terangkat dari kemiskinan ekstrem.
• Ekonomi Cina menyumbang 18% dari PDB global (2022), naik dari hanya 1,8% pada 1980.
• Cadangan devisa tumbuh ke >USD 3 triliun—terbesar di dunia.
Bandingkan dengan Indonesia, yang dalam periode serupa (1990–2020), mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5% per tahun—stabil dan menjanjikan, namun belum seledak Tiongkok.
Sedangkan Tiongkok, Secara spesifik, dari 1979 hingga 2010, rata‑rata pertumbuhan tahunan sebesar 9,9 %, hampir dua kali lipat Indonesia.
Ini bukanlah hasil dari satu dekrit ajaib. Ia dibangun dengan peluh, kesabaran, dan struktur negara yang tak kenal kompromi terhadap tujuan.
Seperti piramida yang tak goyah oleh waktu, pertumbuhan Cina berdiri di atas tiga landasan kokoh:
1. Ekspor dan Manufaktur Massal
Baca Juga: LSI Denny JA: Ada Lima Rapor Biru dan Dua Rapor Merah Selama Tujuh Bulan Prabowo–Gibran Memimpin
Dalam dua dekade, Cina menjelma menjadi pabrik dunia. Dunia memproduksi ide, Tiongkok mewujudkannya menjadi barang.
Dari kaus kaki hingga iPhone, semuanya lahir di jalur produksi tanpa henti:
• Ekspor tumbuh 20 kali lipat (1990–2010).
Baca Juga: Analisis Denny JA: Setelah Amerika Serikat Menjatuhkan Bom ke Iran
• Perusahaan seperti Foxconn mempekerjakan ratusan ribu pekerja dalam satu kompleks.
2. Investasi Infrastruktur
Cina tidak hanya membangun gedung, tapi masa depan. Dengan triliunan yuan, negeri ini menciptakan:
Baca Juga: Analisis Denny JA: Indonesia Jadi Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga
• 160.000 km jalan tol — terpanjang di dunia.
• 42.000 km rel kereta cepat — menghubungkan seluruh negeri dari Beijing ke desa terpencil di Yunnan.
• Bandara, pelabuhan, bendungan, bahkan kota baru.
Baca Juga: Analisis Denny JA: Dari Gencatan Senjata Iran-Israel Menuju Masa Depan Palestina Merdeka?
3. Urbanisasi dan Kelas Menengah Baru
Lebih dari 300 juta orang pindah dari desa ke kota. Mereka menjadi konsumen baru: membeli rumah, mobil, ponsel, dan masa depan.
Brookings mencatat: kelas menengah Cina kini melebihi 400 juta orang—lebih banyak dari seluruh populasi Amerika Serikat.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Wonderland, Dunia Kanak-kanan dalam Lukisan Genre Imajinasi Nusantara
-000-
Chī Kǔ: Spirit Rakyat yang Membangun Negeri
Cina bukan dibangun oleh Partai Komunis semata. Ia dibangun oleh:
Baca Juga: Catatan Denny JA: Bumi yang Terluka
• Buruh migran yang bekerja tanpa asuransi.
• Siswa yang belajar 12–16 jam sehari demi Gaokao—ujian nasional masuk universitas.
• Pedagang kaki lima yang kemudian menjadi miliarder.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Suara Rakyat Ditukar Liter Solar
Falsafah kuno chī kǔ (吃苦) atau “makan pahit” menjadi azimat tak kasat mata. Di balik jalan tol dan gedung pencakar langit, berdiri rakyat yang rela menelan getir demi masa depan anak mereka.
Mereka bukan warga biasa. Mereka adalah mesin waktu. Mereka rela hidup keras agar generasi berikutnya hidup layak.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Mesin Mengebor Lebih Dalam, Melampaui Nurani
Dari Peniru Menjadi Pelopor
Dari tanah yang dulu dihina sebagai “peniru”, lahir raksasa-raksasa inovasi:
• Alibaba mengubah wajah perdagangan dunia.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Siapa Menguasai Energi, Menguasai Peradaban, Politik Energi Abad 21
• Huawei menjadi ikon teknologi 5G dan pertahanan digital.
• BYD dan CATL kini memimpin revolusi kendaraan listrik global.
• Tencent dengan WeChat—bukan sekadar aplikasi, tapi ekosistem kehidupan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Indonesia dan Jalan Emas Abad 21
Transformasi ini bukan imitasi. Ini adalah evolusi. Tiongkok tidak lagi menunggu teknologi Barat. Ia menciptakan dunianya sendiri.
Pertumbuhan Cina menciptakan perubahan global:
• Barang murah di Walmart? Terima kasih pada pekerja pabrik di Dongguan. Barang di Amerika Serikat itu banyak dari Cina
Baca Juga: Catatan Denny JA: Minyak, Bisnis, dan Politik di Era Artificial Intelligence
• Komponen teknologi global? 80% memiliki titik simpul di Cina.
• Banyak negara berkembang kini belajar bukan dari Washington, tapi dari Beijing.
Namun setiap cahaya menciptakan bayangan:
Baca Juga: Catatan Denny JA: Awal Kemajuan China dan Revolusi Damai Deng Xiaoping
• Di Barat, pekerjaan manufaktur hilang.
• Ketergantungan terhadap Cina dalam rantai pasok memicu krisis saat pandemi.
• Ketegangan geopolitik meningkat—dari Laut Cina Selatan hingga perang dagang dengan AS.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Make Pertamina Great Again
-000-
Bayangan di Balik Statistik
Tak ada kemajuan tanpa biaya. Di balik grafik pertumbuhan, Cina menyimpan luka:
Baca Juga: Catatan Hamri Manoppo: Suara Rakyat, Pertamina Ayo Bangun Kemakmuran Jadi Milik Bersama
1. Ketimpangan
• Kota seperti Shanghai memiliki GDP per kapita lima kali provinsi seperti Gansu.
• Kelas ultra-kaya tumbuh pesat, namun jutaan tetap dalam pekerjaan informal.
2. Krisis Properti
• Evergrande, simbol ambisi dan kejatuhan, meledak pada 2021.
• Real estate menyumbang hampir 30% GDP—dan kini jadi beban ekonomi.
3. Degradasi Lingkungan
• 16 dari 20 kota paling tercemar dunia (2010) berada di Cina.
• Sungai Yangtze tercemar limbah industri. Anak-anak lahir dengan gangguan pernapasan.
4. Korupsi dan Alienasi Sosial
• Proyek raksasa sering menjadi ladang korupsi lokal.
• Kota-kota besar menyimpan kesepian: jutaan hidup sendiri, dalam apartemen tanpa suara.
Apakah Kemajuan Selalu Harus Berlari?
Fenomena Tang Ping (躺平)—“berbaring”—mencuat sebagai bentuk perlawanan pasif generasi muda: menyerah dari ambisi, memilih tidur daripada lomba.
Ada yang hilang di tengah keajaiban: makna.
Apakah membangun gedung pencakar langit berarti membangun langit batin?
Apakah menaikkan angka GDP berarti menurunkan kesepian?
Pertumbuhan bukan hanya tentang naiknya grafik, tapi tentang apakah manusia di dalamnya masih merasa hidup.
-000-
Negara Kuat, Rakyat Sunyi
Salah satu bahan bakar pertumbuhan Cina adalah: negara kuat.
• Tak ada debat parlemen: satu perintah, satu pelaksanaan.
• Rencana Lima Tahun menjadi Injil ekonomi.
• Partai memegang kendali atas negara dan pasar.
Namun efisiensi membawa dilema:
• Bagaimana bila rakyat tak lagi puas dengan roti, tapi menginginkan suara? Demokrasi, kebebasan?
• Apakah ekonomi bisa terus tumbuh di bawah tekanan ekspresi dan kebebasan?
Inilah paradoks: keajaiban yang dibangun oleh kebisuan.
Kini, Cina berdiri di persimpangan sejarah:
• Middle-income trap — Akankah ia naik kelas jadi negara maju?
• Demographic cliff — Populasi menua, bonus demografi menyusut.
Anak lelaki di Chongqing itu kini menjadi ayah. Ia masih tinggal di kota yang dulu penuh asap, kini dipenuhi menara kaca dan taman pintar.
Ia menggendong putrinya ke balkon yang sama, dan berkata:
“Langit masih kelabu. Tapi kau—kau adalah bintangku.”
Demikianlah Cina: bukan hanya cerita tentang angka dan pabrik. Ini adalah kisah manusia yang menggenggam masa depan dengan tangan kasar dan mimpi lembut.
Tiga dekade pertumbuhan adalah bukti bahwa perubahan tak datang dari sihir, melainkan dari peluh. Dan dari peluh itu—lahirlah peradaban.
-000-
Tapi Keajaiban Sejati Adalah Ketika Manusia Tetap Manusia
Kemajuan teknologi, ekonomi, dan infrastruktur tak berarti bila manusia kehilangan dirinya sendiri. Pertanyaan terakhir dari setiap zaman bukanlah berapa tinggi menara kita, melainkan:
Apakah kita masih saling mengenal, saling merawat, dan saling bermimpi?
Keajaiban sejati bukanlah saat negara menjadi kaya. Tapi saat rakyatnya tetap manusia, diperlakukan selayaknya manusia, dan menemukan makna hidup sebagai manusia.
Namun manusia tak hidup dari kekayaan semata. Ia juga lapar akan makna, dan haus akan kebebasan.
Di sudut kota Shenzhen, seorang dosen menulis puisi dengan kuas kaligrafi di atas layar hologram.
Tinta digitalnya mengalir:
"Kami pernah menggenggam cangkul, kini memeluk algoritma.
Di antara nadi baja dan kode biner, masihkah ada ruang untuk doa yang tak tercatat di GDP?
Revolusi bukan hanya angka ekonomj, ia juga denyut nadi kebebasan.*
Jakarta, 28 Juli 2025
REFERENSI UTAMA:
1. Ezra F. Vogel, Deng Xiaoping and the Transformation of China, Harvard University Press, 2011.
2. Thomas Orlik, China: The Bubble That Never Pops, Oxford University Press, 2020.
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World