DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Apakah Pertamina Bisa Selamat di Era Tanpa Minyak?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Minyak, Bisnis, dan Politik (7)

ORBITINDONESIA.COM - Pesisir Desa Cemara Jaya, Karawang, suatu pagi di tahun 2019. Laut yang biasanya tenang dan biru kini menghitam pekat, memantulkan bayangan kematian.

Seorang anak kecil—kita sebut saja Farel—berdiri di tepi pantai, memandangi air yang tak lagi akrab. Ia anak nelayan. Di matanya, laut adalah ruang bermain, sekolah, dan dapur keluarganya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Dilema Batin Petugas Perbatasan dan Luka Sosial Lainnya

Tapi hari itu, ikan-ikan mengambang. Jaring-jaring kering. Nafkah ayahnya lenyap secepat gelombang pasang.

Tumpahan minyak dari sumur YYA-1 Pertamina Hulu Energi (PHE) telah mencemari wilayah itu. Ikan dan mangrove mati. Ratusan kepala keluarga terdampak.

Di televisi, manajemen menyebutnya “insiden operasional.” Namun di desa, itu adalah bencana ekologis yang mengguncang hidup.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kentucky Fried Chicken Rugi Ratusan Miliar Rupiah dan Datangnya Era Meaning Economy

Kisah ini lebih dari tragedi lokal. Ia adalah cermin bahwa sang raksasa minyak Indonesia tengah berdiri di tikungan sejarah.

Apakah Pertamina bisa bertahan ketika masa depan justru menolak minyak?

-000-

Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah yang Luka Dalam Sastra

Dari Raksasa ke Penari: Tantangan yang Menghadang

Pertanyaan itu tak bisa ditunda. Sejak Paris Agreement 2015, dunia makin tegas dalam meninggalkan bahan bakar fosil. COP28, ESG, transisi energi global—semuanya satu bahasa: berubah, atau punah.

Investor seperti Dana Pensiun Norwegia, BlackRock, hingga bank syariah Asia kini menyaring portofolio berdasarkan jejak karbon. Aset kotor ditinggal, yang hijau dirangkul.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Minyak dan Takhta Zaman, Ketika Dunia Digerakkan Oleh Hitamnya Energi

Pertamina, ibarat Goliath yang bertumpu pada ladang-ladang tua, kini harus belajar menari seperti para startup energi bersih yang gesit dan ringan.

Apakah mungkin?

Strukturalnya sudah dibentuk. Subholding Energi Baru dan Terbarukan (EBT) mulai dirancang. Ada kilang hijau di Cilacap, proyek co-processing CPO, percobaan hidrogen biru dan amonia hijau. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Einstein Mengenakan Batik dan Kisah Salvador Dali

Beberapa PLTS mulai dipasang di atap SPBU, dan ambisi membangun ekosistem EV nasional digaungkan.

Tapi pertanyaan publik muncul: benarkah ini lompatan strategis, atau sekadar gerak kosmetik?

-000-

Baca Juga: Catatan Denny JA: Darah Negara Minyak

Antara Pencitraan dan Kenyataan

Brosur Pertamina kini penuh kehendak sustainability. Namun, laporan keuangan menunjukkan bahwa 95% pendapatan perusahaan masih bersumber dari minyak dan gas bumi.

Pidato-pidato berbicara tentang “net zero emission,” tapi alokasi investasi justru condong ke eksplorasi migas baru.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Big Oil, Ketika Perusahaan Lebih Kuat Dibanding Negara

“Greenwashing,” kata para aktivis lingkungan.

“Green wishing,” timpal analis pasar.

Di sisi lain, pemain kecil mulai muncul. Xurya menguasai pasar PLTS atap. Electrum merintis ekosistem motor listrik di kota-kota besar. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Mesiu dan Perang dari Ladang Minyak

Bahkan mahasiswa ITB memperkenalkan turbin angin mikro untuk daerah terpencil.

Mereka kecil, tapi lincah.

Pertamina besar, bisakah juga lincah?

Baca Juga: Catatan Denny JA: Pertamina, dari Sumur Minyak Rakyat ke Rantai Global

Ini bukan lagi soal siapa paling kuat. Tapi siapa paling cepat.

-000-

Warisan Ladang Minyak, Tuntutan Menjadi Laboratorium Hijau

Baca Juga: Catatan Denny JA: Pertamina di Simpang Jalan, Antara Aramco dan Petrobras

Di balik setiap sumur tua tersimpan narasi nasionalisme: dari Ibnu Sutowo yang membangun kerajaan energi negara, hingga proyek kilang yang menjadi lambang kedaulatan.

Minyak pernah menjadi lambang harga diri bangsa. Tapi kini, simbol itu berkarat.

Generasi baru tak lagi mewarisi impian saham dan ladang, melainkan krisis iklim dan udara beracun. Mereka tak hanya bertanya “berapa harga BBM?”, tapi “berapa jejak karbon kita?”.

Jika dulu ladang minyak adalah mahkota republik, kini tantangannya adalah menjadi laboratorium karbon netral—bukan simbol keterlambatan.

-000-

Akhir dari Minyak? Atau Awal dari Transformasi?

Di akar rumput, energi baru tumbuh: panel surya mengubah atap jadi kebun, angin desa memutar turbin harapan.

Bukan mimpi, ini kerja tangan yang menanam matahari.

Kodak mati bukan karena dunia tak butuh foto, tapi karena Kodak menolak berubah.

Nokia tumbang bukan karena sinyal hilang, tapi karena ia gagal membaca arah zaman.

Apakah Pertamina akan bernasib sama?

Ataukah bisa mengikuti jejak Ørsted, perusahaan Denmark yang bertransformasi dari penjual batubara menjadi ikon energi angin dunia?

Mampukah ia menyaingi Aramco yang mulai serius pada petrokimia dan hidrogen, atau justru tenggelam seperti Petrobras yang terperosok oleh korupsi dan stagnasi?

Indonesia tak punya banyak waktu.

Laut Karawang telah memberi peringatan.

Anak-anak seperti Farel tak akan menunggu roadmap lima tahun. Mereka menuntut revolusi sekarang.

-000-

Api dalam Diri

Di ujung semua ini, satu pertanyaan tak kunjung padam:

Bisakah Pertamina selamat di era tanpa minyak?

Jawabannya bukan terletak pada teknologi semata, tapi pada keberanian filosofis—untuk melepaskan identitas lama dan merumuskan ulang diri bukan sebagai perusahaan minyak, tapi sebagai penjaga energi hidup.

Jika Pertamina bisa berubah, ia tak hanya menyelamatkan dirinya. Ia menyelamatkan laut, udara, anak-anak. Dan akhirnya, masa depan Indonesia.

Karena yang kita wariskan bukan sumur tua—melainkan napas masa depan.***

Jakarta, 9 Juli 2025

Referensi

1. CNBC Indonesia. Wow! Tumpahan Minyak Pertamina Setara 106 Ribu Galon per Hari. 25 Juli 2019.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20190725212201-4-87712/wow-tumpahan-minyak-pertamina-setara-106-ribu-galon-hari

2. Buku: Energy Transitions: Global and National Perspectives

• Vaclav Smil, MIT Press, 2017.

3. Buku: The New Map: Energy, Climate, and the Clash of Nations

• Daniel Yergin, Penguin Press, 2020.

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, bisnis dan marketing, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1MCf3np1Xe/?mibextid=wwXIfr

Halaman:

Berita Terkait