DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Artificial Intelligence tak Membunuh Penulis, tapi Mengubahnya

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Mereka menulis. Bukunya terbit. Namun hidupnya tak layak.

Harga kertas naik 90% dalam lima tahun. Pajak buku tetap 11%. Distribusi hanya menjangkau kota besar. Pembajakan digital merajalela. Sistem tak berpihak.

Kini, dengan munculnya ChatGPT dan ribuan model serupa, pembaca bisa mendapat informasi yang lebih cepat, lebih lengkap, dan gratis. Mesin menyediakan jawaban yang lebih luas dari perpustakaan manapun.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Tafsir yang Berbeda tentang Kurban Hewan di Era Animal Rights

Menulis di Indonesia seperti bercocok tanam di gurun pasir. Terik terlalu menyengat. Tak ada air untuk harapan.

-000-

Tahun 2025 adalah tonggak baru: ribuan naskah lahir dari mesin, dalam hitungan detik.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai

Artificial intelligence (AI) bisa menulis novel roman, puisi melankolis, bahkan buku motivasi dengan judul yang menjual. Mesin tak hanya menyalin gaya—ia menebak emosi, meniru struktur narasi, menyusun dialog yang menyentuh.

Namun ada satu hal yang tak bisa IA tiru: kehilangan yang nyata.

Bayangkan ini: di sudut sebuah warung kopi di Yogyakarta, seorang penulis muda bernama Naila mengetik dengan laptop retak. Ia baru kehilangan ibunya. Ia menulis bukan untuk menang lomba atau dilirik penerbit besar. Ia menulis agar tak tenggelam dalam duka.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Elon Musk Akhirnya Meninggalkan Donald Trump

Puisinya, Peluk yang Tak Tiba, menyentuh bukan karena teknisnya rapi, tapi karena tangisnya nyata.

Halaman:

Berita Terkait