DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Ketika Puisi Menjadi Saksi Zaman

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Kelemahan:

*Risiko kehilangan lirisisme, jika terlalu berat pada data.

*Keseragaman struktur, bisa menjebak gaya menjadi monoton.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ikhtiar Ikut Merayakan Secara Sosial Hari Raya Agama Lain

Di balik segala inovasi dan keterbukaan, puisi esai tak luput dari sorotan tajam. Ada yang meragukan kedalaman estetikanya.

Ada pula yang melihatnya sebagai manifestasi isu-isu sosial belaka.

Tapi justru di sini, dalam ruang debat dan kritik, puisi esai menemukan relevansinya. Ia tumbuh bukan hanya di hati pembaca, namun juga di arena dialektika sastra Indonesia.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ijazah Jokowi Asli dan Lima Kesalahan Metodologis Tuduhan Palsu

-000-

Puisi esai lahir dari keretakan sejarah: Reformasi 1998, diskriminasi etnis Tionghoa, intoleransi agama, hingga korupsi yang menghancurkan harapan.

Saya, Denny JA, memulainya bukan sebagai penyair, tetapi sebagai peneliti publik dan aktivis yang percaya bahwa puisi harus hadir di jalan, di kantor polisi, bahkan di ruang pengadilan sejarah.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Kampanye Negatif untuk Terpilih Menjadi Pemimpin

Puisi tidak boleh hanya hidup di kafe sastra atau simposium akademik. Ia harus menjadi suara yang melibatkan, bukan sekadar mengagumkan.

Halaman:

Berita Terkait