
Oleh Amidhan Shaberah*
ORBITINDONESIA.COM - Siapa tak kenal Universitas Harvard di AS? Harvard University di Cambridge, Massachusetts terkenal sebagai universitas terbaik di dunia. Banyak intelektual dunia dan peraih hadiah Nobel berasal dari Harvard.
Sampai saat ini, tercatat 160 peraih Nobel dari berbagai bidang seperti ekonomi, sains, kesehatan, dan perdamaian berasal dari Harvard. Universitas yang berdiri tahun 1636 ini melahirkan peraih Nobel terbanyak di dunia. Di antara peraih Nobel yang terkenal: Amartya Sen (ekonomi), James Watson (kedokteran), Roger Kornberg (kimia), dan Barack Obama (perdamaian).
Baca Juga: KH Amidhan: Wilders, Aboutaleb, dan Seedorf: Islam di Belanda
Harvard menjadi tujuan tempat pelajar orang-orang pintar dari seluruh dunia. Kebebasan berpikir dan prinsip-prinsip ilmiah menjadi landasan akademik Harvard.
Itulah sebabnya, Harvard tidak bisa didikte siapa pun. Bahkan oleh Presiden Amerika dan penyumbang dana besar sekali pun, meski ia universitas swasta. Maka tak heran, dalam politik Timur Tengah, civitas akademika Harvard selalu membela Palestina yang ditindas Israel dan pemerintahan Amerika Serikat.
Dalam perang Israel-Hamas yang meletus Okober 2023, civitas akademika Harvard umumnya membela Palestina. Hampir semua mahasiswa dan dosen Harvard menyuarakan hak-hak rakyat Palestina yang dirampas Israel dan dibantu Washington.
Baca Juga: Syaefudin Simon: Amidhan dan Islamic Center Jonggol
Kebebasan akademis yang dihormati demokrasi, tak bisa dibatasi dan ditekan pemerintah. Presiden AS seperti George W Bush (Republik) dan Barack Obama (Demokrat), misalnya, tak pernah "cawe-cawe" terhadap sikap politik warga Harvard tersebut. Juga presiden-presiden lain, bersikap sama. Menghormati kebebasan akademis dan suara kampus Harvard.
Tapi, lain dengan Presiden Donald Trump. Dia membabi buta mendukung Israel dan ikut menekan Palestina. Bahkan Trump sesumbar akan menjadikan Palestina sebagai "wilayah Amerika" dan mengusir warga Palestina di Gaza. Trump menuduh siapa pun yang anti-Israel dan mendukung Palestina adalah kelompok antisemit. Bagi Trump kelompok antisemit adalah teroris. Dan Harvard dianggap mendukung terorisme.
Itulah sebabnya Trump mengancam akan mencabut dana hibah dan kontrak federal ke Universitas Harvard. Total dana yang akan dicabut dari Harvard sebesar $2,2 miliar atau sekitar Rp37 triliun. Jumlah tersebut, untuk sebuah universitas, termasuk besar sekali. Jika Trump benar-benar melakukannya, kegiatan universitas Harvard bisa lumpuh.
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Puan Maharani dan Demokrasi
The Wall Street Journal pada Minggu, 20 April 2025 melaporkan bahwa para pejabat pemerintahan Trump tengah berupaya menekan Harvard karena keras kepala menolak patuh terhadap tuntutan pemerintah. Tuntutannya, jangan membela Palestina dan jangan membenci Israel. Padahal bagi Harvard apa yang dilakukan Israel di Palestina adalah genosida -- pemusnahan sebuah bangsa.
Dan benar, Trump akhirnya mencabut dana Harvard tersebut. Mengejutkan! Hebatnya, demi kebebasan akademis, dunia ilmiah, demokrasi, dan hak asasi manusia, Harvard melawan Trump.
Mantan Presiden Barack Obama mengecam sikap Trump. Obama justru mendukung sikap Harvard yang menghargai kebebasan akadamik dan kebebasan berbicara atas nama demokrasi.
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Judi Online, Racun yang "Merusak" Masyarakat
Hal yang sama, dilakukan Trump terhadap Universitas besar lain. Yaitu Columbia University. Trump telah menandai Universitas Columbia sebagai perguruan tinggi yang membangkang, buntut aksi mahasiswanya yang menggelar protes pro-Palestina tahun lalu. Dana hibah dan kontrak Universitas Columbia senilai $400 juta (sekitar Rp6,7 triliun) dicabut Trump. Alasannya, Columbia University mendukung kelompok antisemit di kampus.
Tuntutan Trump terhadap kampus juga menyasar penghapusan program keberagaman. Termasuk di dalamnya penghormatan terhadap keberagaman etnis dan gender. Bila kemauan Trump diberlakukan, kebebasan dunia akademis dan penghormatan terhadap hak asasi manusia akan runtuh.
Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) juga mengancam Harvard. Kata DHS, Harvard akan kehilangan privilesenya dalam menerima mahasiswa asing jika tidak memenuhi permintaan pemerintah. Rejim AS minta universitas membagikan informasi mengenai "kegiatan ilegal dan kekerasan" pemegang visa mahasiswa asing di Harvard.
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Tangkap Netanyahu Si Penjahat Perang
Mahasiswa asing di universitas harus terdaftar dan disertifikasi oleh Student and Exhange Visitor Program (SEVP) di bawah Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Jelas ini, campur tangan Rejim Trump yang terlalu jauh terhadap sistem akademis di universitas.
Penolakan Harvard terhadap tuntutan pemerintah diumumkan secara terbuka. Presiden Harvard, Alan Garber, menegaskan bahwa permintaan yang diajukan Departemen Pendidikan akan memberikan pemerintah kendali atas komunitas Harvard dan mengancam nilai-nilai dasar universitas sebagai lembaga swasta yang menjunjung kebebasan intelektual.
"Tidak ada pemerintah dari partai mana pun, yang berhak mengatur apa yang boleh diajarkan universitas swasta, siapa yang boleh mereka terima dan pekerjakan, serta bidang studi yang boleh mereka teliti,” tegas Garber dalam surat terbukanya dilansir dari Reuters, Selasa (15 April 2025).
Baca Juga: Amidhan Shaberah: Untung Ada Prabowo!
Langkah ini menandai meningkatnya ketegangan antara pemerintahan Trump dan sejumlah institusi pendidikan tinggi. Pemerintahan Trump juga disebut-sebut telah membekukan ratusan juta dolar untuk universitas lain. Trump menuntut kebijakan baru perguruan tinggi untuk mendukung kebijakan politiknya .
Di samping itu, Pemerintah AS mulai melakukan deportasi terhadap beberapa mahasiswa asing yang ikut serta dalam aksi protes pro-Palestina. Ratusan visa mahasiswa pun telah dibatalkan, memicu kekhawatiran luas terkait kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat.
*Amidhan Shaberah, Komisioner Komnas HAM 2002-2007/Lembaga Kajian MPR RI 2019-2024.***