
Oleh Gaffar Karim
ORBITINDONESIA.COM - Cak Nun pernah mengatakan bahwa salah satu etnis yang ia kagumi di negeri ini adalah Madura. Kenapa? Karena orang Madura sanggup menertawakan diri sendiri.
Benarkah apa yang dikatakan Cak Nun?
Baca Juga: Asyik, Akhirnya Akan Ada Rute Penerbangan Jember Menuju Sumenep, Catat Tanggal hingga Harga Tiketnya
Dia benar tapi cuma sebagian. Kalau esai mahasiswa, saya akan beri nilai B+. Ada metodologi dan data yang perlu dirapikan kalau sinyalemen itu mau dapat A.
Mari kita bahas: Memang benar, orang Madura tidak menertawakan etnis lain. Sebagai etnis minoritas, orang Madura terlatih menertawakan kemaduraan.
Bandingkan dengan etnis mayoritas seperti Jawa (yang Cak Nun adalah bagian darinya). Mereka terlatih untuk membuat lelucon tentang etnis-etnis lain, bahkan dengan cara yang sangat etnosentris. Semakin etnosentrik, semakin lucu. Dalam etnisentrisme terkandung fallacy yang memang potensial menghadirkan kelucuan.
Baca Juga: Maskapai Susi Air Mulai Lalui Rute Jember Sumenep
Tapi betulkah orang Madura terlatih untuk menertawakan dirinya sendiri?
Itu tidak akurat. Yang lebih akurat adalah: orang Madura terlatih untuk menertawakan BAGIAN LAIN dari etnis Madura.
Bingung? Kalau sampeyan orang luar Madura, mungkin akan bingung. Kenapa? Karena orang luar Madura cenderung mengira hanya ada SATU macam orang Madura. Orang luar mengira bahwa Madura itu tunggal.
Baca Juga: Meriahkan Bulan Bung Karno, Ratusan Orang Ikuti Lomba Baca Puisi Karya Si Bung di Sumenep Jawa Timur
Di situlah letak masalahnya. Kami orang Madura tahu persis bahwa etnis Jawa itu punya banyak ragam: ada kultur arek, ada kultur ngapak, ada kultur Mataraman yang dominan. Tapi bagi kebanyakan orang Jawa, hanya ada satu jenis orang Madura. Pemahaman itu pun dibangun di atas image palsu yang dibentuk oleh Kadir Srimulat dan Mbok Bariah (orang Madura apa bukan tuh, mereka?)
Dalam kultur Madura, ada sub-subkultur. Ini bukan soal mana yang lebih baik mana yang lebih buruk. Tapi jelas: antar setiap subkultur ada perbedaan. Sama-sama berbahasa Madura, setiap subkultur punya dialek dan kosakata yang mudah dibedakan satu sama lain.
Ada sub kultur Madura barat (Bangkalan, Sampang), sub kultur Madura timur (Pamekasan, Sumenep), sub kultur Kangean, sub kultur Masalembu, sub kultur pendalungan, dst.
Baca Juga: Pilkada Sumenep 2024: PKS Usung Petahana PDI Perjuangan Achmad Fauzi Wongsojudo
Bagi saya yang berada di sub kultur timur, semasa kecil dulu logat orang Bangkalan itu lucu dan mengundang tawa. "Sanggit" kalau menurut kami. Sebaliknya, teman saya yang orang Bangkalan menganggap orang Sumenep kalau bicara seperti sedang "ngijung" (nyanyi). Gak nyampe-nyampe kalau bicara. Belanda keburu datang.
Kami saling menertawakan setiap sub kultur. Kami bukan menertawakan diri sendiri.
Nah orang luar, khususnya di Surabaya, lebih banyak berinteraksi dengan orang Madura Barat ketimbang orang Madura timur. Mereka cenderung membangun stereotypes berbasis sub kultur Madura barat.
Masalahnya, stereotyping berbasis etnis itu berimpit dengan prasangka kelas. Banyak pekerja informal di Surabaya yang orang Madura. Mereka banyak yang tidak cukup berpendidikan. Pekerjaan dan pola bermukim mereka menghasilkan klaster masyarakat slum.
Seperti apa karakter masyarakat slum? Seperti ini: miskin, kumuh, cenderung kriminal, tidak taat aturan.
Di mana-mana ya seperti itu. Di Bangkok dan Manila juga sama. Di New York dan London juga. Tapi di Surabaya, karakter masyarakat slum itu lama-kelamaan terkaburkan oleh etnisitas. Karakter "miskin, kumuh, cenderung kriminal, tidak taat aturan" tidak lagi sekadar penanda kelas, tapi sudah menjadi penanda etnis. Etnis apa? Madura.
Baca Juga: Polres Sumenep Jawa Timur Pastikan Logistik Sampai Dengan Selamat ke Kepulauan
Bahkan Gubernur Khofifah pernah mosting di instagramnya, tentang penjual makanan yang nyelonong masuk ke halaman Wisma Grahadi. Captionnya: "Madura dilawan." Bahkan Gubernur Jatim pun tak sanggup membedakan perilaku kelas sosial dan perilaku etnis. Mohon maafkan gubernur kami itu...
Jelas sampai di sini ya. Sekali lagi, stereotyping berbasis etnis akhirnya berimpit dengan kelas sosial. Itu yang terjadi. Banyak orang kerap kaget kalau bertemu orang Madura yang tidak mengkonfirmasi stereotyping itu.
Pertama kali merantau ke Jawa, saya selalu kesal kalau ada yang nanya: "Oh, asli Madura ya? Logat Maduranya kok gak keliatan". Lah, logat Madura mana dulu yang mereka mau cari? Logat Madura yang saya bawa ya memang seperti ini. Lagian logat kok keliatan...
Baca Juga: Digebuk PSM Makassar di Stadion Bangkalan, Madura United Kian Terbenam di Zona Degradasi
Kalau cuma soal logat, akhirnya ya saya terima saja. Tapi yang masih membuat saya kesal sampai hari ini adalah kalau ada yang "memaksa" saya untuk mengkonfirmasi stereotyping berbasis kelas di atas.
Ini juga: banyak orang luar yang mengira semua orang Madura mudik saat iduladha, bukan idulfitri. Di Surabaya, banyak orang mengira bahwa semua orang Madura paham apa makna konotatif dari istilah "35" dan "toron". Waktu dulu saya menunjukkan ketidakpahaman akan hal itu, banyak yang mengira saya sedang bercanda.
Sama juga seperti panggilan "Cak". Di Sumenep tidak ada orang yang dipanggil dengan cara itu. Tapi berapa banyak orang yang berusaha ramah memanggil saya "Cak Gaffar"... Ya gak apa-apa sih. Niatnya baik.
Baca Juga: Ratusan Narapidana Rutan Sumenep Jawa Timur Terima Remisi Khusus Lebaran 2025
Jadi, sodara-sodara sinyalemen bahwa orang Madura pintar menertawakan diri sendiri itu adalah bagian dari salah paham yang menganggap Madura itu tunggal. Salah paham semacam itu sudah membuat banyak orang Madura seperti saya jadi sutris wal depresi kehilangan jati diri.
Tapi ya demikian lah. Selamat idul fitri. Semua kesalahan stereotyping yang telah, sedang dan akan sampeyan perbuat pada saya, sudah saya maafkan.
Alhamduuu...
Baca Juga: Seruduk Persija Jakarta di Stadion Bangkalan, Madura United Menjauh Dari Zona Degradasi
*Gaffar Karim, dosen Fisipol UGM, keturunan Madura. ***