
Dalam kultur Madura, ada sub-subkultur. Ini bukan soal mana yang lebih baik mana yang lebih buruk. Tapi jelas: antar setiap subkultur ada perbedaan. Sama-sama berbahasa Madura, setiap subkultur punya dialek dan kosakata yang mudah dibedakan satu sama lain.
Ada sub kultur Madura barat (Bangkalan, Sampang), sub kultur Madura timur (Pamekasan, Sumenep), sub kultur Kangean, sub kultur Masalembu, sub kultur pendalungan, dst.
Bagi saya yang berada di sub kultur timur, semasa kecil dulu logat orang Bangkalan itu lucu dan mengundang tawa. "Sanggit" kalau menurut kami. Sebaliknya, teman saya yang orang Bangkalan menganggap orang Sumenep kalau bicara seperti sedang "ngijung" (nyanyi). Gak nyampe-nyampe kalau bicara. Belanda keburu datang.
Baca Juga: Asyik, Akhirnya Akan Ada Rute Penerbangan Jember Menuju Sumenep, Catat Tanggal hingga Harga Tiketnya
Kami saling menertawakan setiap sub kultur. Kami bukan menertawakan diri sendiri.
Nah orang luar, khususnya di Surabaya, lebih banyak berinteraksi dengan orang Madura Barat ketimbang orang Madura timur. Mereka cenderung membangun stereotypes berbasis sub kultur Madura barat.
Masalahnya, stereotyping berbasis etnis itu berimpit dengan prasangka kelas. Banyak pekerja informal di Surabaya yang orang Madura. Mereka banyak yang tidak cukup berpendidikan. Pekerjaan dan pola bermukim mereka menghasilkan klaster masyarakat slum.
Baca Juga: Maskapai Susi Air Mulai Lalui Rute Jember Sumenep
Seperti apa karakter masyarakat slum? Seperti ini: miskin, kumuh, cenderung kriminal, tidak taat aturan.
Di mana-mana ya seperti itu. Di Bangkok dan Manila juga sama. Di New York dan London juga. Tapi di Surabaya, karakter masyarakat slum itu lama-kelamaan terkaburkan oleh etnisitas. Karakter "miskin, kumuh, cenderung kriminal, tidak taat aturan" tidak lagi sekadar penanda kelas, tapi sudah menjadi penanda etnis. Etnis apa? Madura.
Bahkan Gubernur Khofifah pernah mosting di instagramnya, tentang penjual makanan yang nyelonong masuk ke halaman Wisma Grahadi. Captionnya: "Madura dilawan." Bahkan Gubernur Jatim pun tak sanggup membedakan perilaku kelas sosial dan perilaku etnis. Mohon maafkan gubernur kami itu...
Baca Juga: Meriahkan Bulan Bung Karno, Ratusan Orang Ikuti Lomba Baca Puisi Karya Si Bung di Sumenep Jawa Timur
Jelas sampai di sini ya. Sekali lagi, stereotyping berbasis etnis akhirnya berimpit dengan kelas sosial. Itu yang terjadi. Banyak orang kerap kaget kalau bertemu orang Madura yang tidak mengkonfirmasi stereotyping itu.