
Pertama kali merantau ke Jawa, saya selalu kesal kalau ada yang nanya: "Oh, asli Madura ya? Logat Maduranya kok gak keliatan". Lah, logat Madura mana dulu yang mereka mau cari? Logat Madura yang saya bawa ya memang seperti ini. Lagian logat kok keliatan...
Kalau cuma soal logat, akhirnya ya saya terima saja. Tapi yang masih membuat saya kesal sampai hari ini adalah kalau ada yang "memaksa" saya untuk mengkonfirmasi stereotyping berbasis kelas di atas.
Ini juga: banyak orang luar yang mengira semua orang Madura mudik saat iduladha, bukan idulfitri. Di Surabaya, banyak orang mengira bahwa semua orang Madura paham apa makna konotatif dari istilah "35" dan "toron". Waktu dulu saya menunjukkan ketidakpahaman akan hal itu, banyak yang mengira saya sedang bercanda.
Baca Juga: Asyik, Akhirnya Akan Ada Rute Penerbangan Jember Menuju Sumenep, Catat Tanggal hingga Harga Tiketnya
Sama juga seperti panggilan "Cak". Di Sumenep tidak ada orang yang dipanggil dengan cara itu. Tapi berapa banyak orang yang berusaha ramah memanggil saya "Cak Gaffar"... Ya gak apa-apa sih. Niatnya baik.
Jadi, sodara-sodara sinyalemen bahwa orang Madura pintar menertawakan diri sendiri itu adalah bagian dari salah paham yang menganggap Madura itu tunggal. Salah paham semacam itu sudah membuat banyak orang Madura seperti saya jadi sutris wal depresi kehilangan jati diri.
Tapi ya demikian lah. Selamat idul fitri. Semua kesalahan stereotyping yang telah, sedang dan akan sampeyan perbuat pada saya, sudah saya maafkan.
Baca Juga: Maskapai Susi Air Mulai Lalui Rute Jember Sumenep
Alhamduuu...
*Gaffar Karim, dosen Fisipol UGM, keturunan Madura. ***