Menulis Ulang Perjuangan Perempuan dalam Sastra: Pengantar Dari Denny JA Untuk Buku Puisi Esai Gunawan Trihantoro
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 27 Februari 2025 05:56 WIB

Ia memahami kekuatan Aceh bukan hanya pada senjata, tetapi juga dalam jaringan diplomatiknya. Ia menjaga hubungan dengan Kekaisaran Ottoman, yang saat itu menjadi pusat kekuatan Islam dunia.
Ketika kekuatan Barat mulai menekan Asia Tenggara, Malahayati memastikan Aceh tidak berdiri sendirian.
Di bawah komandonya, pasukan Inong Balee tidak hanya mengisi celah dalam militer Aceh. Tetapi pasukan ini menjadi unit yang paling disiplin dan efektif dalam bertempur.
Ia menolak pandangan perempuan adalah kelemahan. Baginya, perempuan adalah benteng terakhir yang tidak akan runtuh sebelum darah terakhir ditumpahkan.
Seorang pemimpin tidak hanya diukur dari seberapa banyak pertempuran yang dimenangkan, tetapi dari seberapa banyak hati yang ia gerakkan.
Malahayati bukan hanya pemimpin militer, tetapi juga pemimpin rakyat. Di masa ketika perempuan jarang mendapat tempat dalam kepemimpinan, Malahayati bukan hanya berdiri di garis depan. Ia juga mengangkat perempuan-perempuan lain untuk berjuang bersamanya.
Pasukan Inong Balee bukan hanya sekumpulan janda perang, tetapi simbol bahwa kehancuran tidak boleh menjadi akhir. Mereka bangkit, berlatih, dan bertempur sebagai bukti bahwa perempuan adalah penjaga negeri.
Ketika ia berlayar, rakyat Aceh tidak hanya melihatnya sebagai panglima perang, tetapi sebagai ibu yang melindungi mereka. Ia bukan hanya laksamana, ia adalah nyawa yang menjaga kehormatan Aceh tetap utuh.
-000-
Membaca kisah Malahayati dalam puisi esai Gunawan Trihantoro, saya teringat perempuan lain yang sama ajaibnya.