Menulis Ulang Perjuangan Perempuan dalam Sastra: Pengantar Dari Denny JA Untuk Buku Puisi Esai Gunawan Trihantoro
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 27 Februari 2025 05:56 WIB

Ia membentuk pasukan Inong Balee, legiun perempuan yang dipenuhi janda-janda pejuang. Mereka bukan hanya menolak tunduk, tetapi menjadikan luka mereka sebagai bara yang menghanguskan musuh.
-000-
Saya menelusuri dokumen sejarah. Apa yang membuat Malahayati bukan hanya seorang pemimpin, tetapi seorang ikon?
Ketika kapal-kapal Belanda pertama kali mengarungi Selat Malaka, banyak yang meremehkan Aceh. Cornelis de Houtman, penjelajah Belanda yang sombong, datang dengan perhitungan bahwa Aceh negeri yang bisa ditundukkan dengan diplomasi berbalut tipu daya.
Namun ia lupa, Aceh memiliki seorang perempuan yang melihat jauh lebih tajam dari mata seorang penjajah.
Malahayati tidak membuang waktu dengan negosiasi kosong. Ia paham setiap langkah mundur adalah undangan bagi kehancuran.
Maka, ketika peperangan pecah, ia sendiri yang memimpin armada. Di geladak kapal, rencongnya menembus dada Cornelis de Houtman, mengirim pesan ke seluruh Eropa: Aceh bukan tanah yang bisa dijajah.
Di abad ke-16, tidak ada perempuan yang berani berdiri sejajar dengan armada laki-laki. Tetapi Malahayati melakukannya..
Malahayati tidak hanya berperang dengan pedang, tetapi juga dengan diplomasi dan strategi. Di bawah kepemimpinannya, Aceh membangun pertahanan laut yang kuat.
Ia menguasai seni perang laut, menyusun siasat dengan kecermatan yang membuat lawan gentar sebelum pertempuran dimulai.