DECEMBER 9, 2022
Kolom

Pencarian Identitas, dan Burung Gagak Ingin Menjadi Merak: Pengantar dari Denny JA Untuk Buku Puisi Esai Mahwi Air Tawar

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Ketika gagak akhirnya sadar bahwa ia tak memiliki tempat untuk pulang, ketika Gregor menyadari bahwa keluarganya lebih membenci keberadaannya daripada bentuknya, di sanalah kita memahami paradoks identitas: perubahan bisa membebaskan, tetapi juga bisa mengasingkan.

Dilema ini bukan tentang boleh atau tidaknya berubah, melainkan tentang kehilangan apa dalam prosesnya. Sebab, menjadi sesuatu yang lain bukan hanya soal menanggalkan yang lama, tetapi juga bersiap kehilangan rumah.

-000-

Saya membaca cerpen Franz Kafka: Metamorphosis, ketika sekolah di Amerika Serikat tahun 1990-an. Itu era ketika saya sendiri mencari apa yang seharusnya menjadi identitas saya.

Apakah memang ada life calling yang dititipkan alam semesta untuk dijalani? Ataukah semuanya hanyalah pilihan pribadi, yang banyak dipengaruhi oleh kesempatan yang saat itu terbuka?

Saya datang ke Amerika Serikat sebagai seorang mahasiswa, penulis, dan aktivis. Jika saya ingin menjadi pengusaha agar banyak uangnya, apakah saya sejenis gagak yang ingin menjadi merak?

Dengan kaya raya, padahal saat itu saya miskin, apakah saya berubah dari manusia menjadi serangga, seperti cerpen Kafka? Bedanya, ini serangga pemburu uang.

Bagaimana jika saya menjadi akademisi saja? Atau menjadi politisi? Atau membangun komunitas spiritual? Atau menjadi penyair?

Tiga sampai lima tahun saya bergulat memutuskan, “Siapa saya?” Jika saya berubah dengan profesi yang berbeda dan identitas psikologis yang berbeda, apa risikonya?

Saya lahir di dunia itu tak saya minta. Ruang dan waktu tempat saya lahir juga bukan saya yang pilih. Lalu, apakah ada kontrak yang harus saya kerjakan dalam hidup? Apa yang harus saya bela?

Halaman:

Berita Terkait