Pencarian Identitas, dan Burung Gagak Ingin Menjadi Merak: Pengantar dari Denny JA Untuk Buku Puisi Esai Mahwi Air Tawar
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 26 Februari 2025 08:38 WIB

Sementara itu, gagak-gagak lain tak lagi mengenalinya. Ia telah menjauh dari akar, tetapi tak menemukan tanah baru untuk mencengkeram.
Di sinilah ironi menelanjangi dirinya. Perubahan yang ia dambakan bukanlah transformasi, melainkan pelarian.
Ia percaya bahwa dengan mengganti bulu, ia bisa melarikan diri dari dirinya sendiri. Tapi dunia bukan hanya soal warna. Dunia adalah tentang asal, tentang tempat kita berpulang.
“Di mana tubuhnya, di mana jantungnya?
Ia bertanya pada angin yang mengoyak rimbun dedaunan.”
Ia menatap dirinya dalam pantulan sungai, melihat bulu yang bukan miliknya, paruh yang tak lagi mengenali suaranya sendiri. Ia mengepakkan sayap, tetapi tidak bisa kembali.
Begitulah manusia, sering kali berlari dari diri sendiri, mengira bahwa keindahan luar bisa menggantikan makna dalam. Namun, apakah kita benar-benar berubah, atau hanya kehilangan rumah?
-000-
Membaca puisi esai Mahwi Air Tawar soal burung gagak yang ingin menjadi burung merak, saya teringat cerpen terkenal dari F. Kafka: Metamorphosis.
Cerpen Metamorphosis karya Franz Kafka, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1915, menjadi fenomenal karena menggambarkan alienasi dan keterasingan manusia dalam masyarakat modern.
Pagi itu, Gregor Samsa terbangun dan menemukan dirinya bukan lagi manusia. Tubuhnya keras seperti tempurung, kakinya menggeliat tak terkendali, dan dunia yang dulu ia kenal kini menjauh.