Puisi Esai Denny JA: Seorang Ibu di Kaki Mao Zedong
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 22 Februari 2025 08:47 WIB

Puisi esai seri Yang Menggigil di Arus Sejarah (13)
ORBITINDONESIA.COM - Tahun 1949 - 1961, 35-40 juta warga mati kelaparan di Tiongkok di bawah revolusi Mao.
-000-
Aku saksi di antara dua dunia.
Di kota, bendera menari di tiang besi.
Patung Mao menjulang bagai dewa batu.
Pidatonya bergema,
seperti guntur yang tak mendengar tangisan hujan:
“Ladang bukan milikmu,
dapur bukan dapur ibumu.
Tanah ini satu,” katanya.
“Petani tak perlu ladangnya sendiri!
Pertanian kolektif untuk rakyat,
dapur komunal untuk semua warga.”
Para pejabat mencatat, tapi dengan tinta dusta,
mengirim panen ke pusat.
Lalu sawah-sawah menjadi milik revolusi.
Lumbung-lumbung dikosongkan untuk kota.
Di desa-desa,
kulihat kelaparan mewabah.
Merintih.
Dapur-dapur bisu,
tulang-tulang anak-anak menonjol dalam bayangan lampu minyak.
Para pejabat takut pada Mao Zedong.
Mereka mengarang angka,
berdusta.
Mereka laporkan produksi melonjak.
Padahal perut rakyat keroncongan.
Di antara semua kisah,
yang ditelan debu sejarah,
aku melihat satu yang terus menggangguku:
Seorang ibu, dan tiga anak yang kelaparan.
-000-
Aku berdiri di ambang pintunya malam itu,
melihatnya duduk, menghitung butiran beras.
Ia seperti rahib yang merapal doa.
Tapi berapa lama lagi iman bisa bertahan,
jika piring-piring makanan tetap kosong?
Di sudut dapur komunal yang sunyi,
ibu itu meremas jagung lapuk di genggaman,
menyusupkan ke mulut si bungsu,
dengan lembut, seakan menyuapi cahaya.
Si kecil tersenyum, mata redup berbinar,
percaya dunia masih baik hati.
Di alun-alun desa, seorang pejabat berdiri,
suara lantangnya menusuk pagi yang dingin:
“Rakyat harus kuat! Lebih baik mati daripada mengkhianati revolusi!”
Namun, apakah revolusi tahu
bahwa di desa ini, yang mati lebih banyak dari yang berjuang?
Rasa lapar menusuk-nusuk.
Tulang makin menipis.
Ibu menggendong si bungsu,
dengan bahu yang semakin ringkih.
-000-
Malam itu, ketika bulan bersembunyi,
ibu itu berjalan ke dapur komunal,
mengais di sudut,
mencari remah yang bisa menjadi hidup.
Tapi revolusi punya mata di mana-mana.
Fajar datang dengan palu yang menggedor:
“Bangun! Pengkhianat rakyat!”
Suara itu lebih tajam dari pisau,
lebih dingin dari angin di musim kering.
Ibu ditarik ke lapangan desa.
Pejabat desa berbicara lantang,
tangannya memegang buku Mao, warna merah dan kecil:
“Inilah musuh revolusi,
pencuri pangan rakyat!”
Seorang pria maju, wajahnya keras,
menampar ibu yang ringkih.
Ibu jatuh.
Tanah berdebu menempel di pipinya.
Tapi bibirnya masih menyebut nama anak-anaknya:
“Makanlah,” bisiknya dalam hati.
“Ibu akan baik-baik saja.”
-000-
Aku melihat mata anak-anaknya di kerumunan.
Mereka menggigit bibir, menahan tangis.
Di sana, menangis pun dianggap penghinaan.
Malam itu, ibu kembali,
bukan sebagai perempuan yang kalah,
tapi sebagai ibu yang sudah memutuskan segala.
Di meja kayu yang rapuh,
ia menuangkan sisa makanan ke tiga mangkuk.
Anak-anaknya mengunyah dengan mata terpejam.
Rasa jagung itu adalah surga.
“Ibu tak lapar,” katanya pelan,
mengusap kepala mereka satu per satu.
Anak-anak tak bertanya,
mereka hanya percaya, ibu selalu benar.
Ibu bersandar ke dinding.
Senyum kecil mengembang.
Lalu tubuhnya tak bergerak lagi.
Dingin seperti malam itu,
yang asing dan beku.
Aku berdiri di ambang pintu, tak sanggup melangkah.
Aku tahu.
Aku sedang menyaksikan cinta,
yang membakar dirinya sendiri demi nyala yang lain.
-000-
Di pagi kelabu, anak-anak memanggil,
tapi ibu tak lagi menjawab.
Jemarinya masih menggenggam udara,
berusaha meraih sesuatu yang tak ada.
Anak-anak itu berteriak:
“Ibu, ibu,
bangun ibu.”
Di mangkuk kayu masih tersisa bayangan ibu.
Aroma tangannya melekat di remah terakhir.
Anak-anak itu mengunyah sunyi yang ia tinggalkan,
merasa kenyang oleh air mata.
Di desa itu, angin bertiup pelan,
takut mengganggu keheningan.
Di kota, Mao berbicara di podium:
“Revolusi kita,
revolusi oleh rakyat, dengan rakyat,
untuk rakyat!”
Di sudut desa yang terlupakan,
tiga anak berjongkok di samping ibu,
menggenggam tangan yang dingin,
menunggu jawaban dari langit.
Sejarah mencatat angka,
tapi tak menulis nama.
Tak ada monumen bagi seorang ibu,
yang mati agar anak-anaknya bisa hidup.
Di bawah patung Mao yang tersenyum kaku,
seorang anak duduk, menatap kosong,
menanti jawaban dari dunia,
yang tak pernah benar-benar mendengar.
Aku melangkah pergi,
tapi langkahku terasa berat.
Semakin aku mengerti,
cinta itu paling setia berkorban,
dan yang paling sering dilupakan.
Ketika revolusi membunuh cinta seorang ibu,
ada yang salah dengan revolusi.***
Jakarta, 22 Februari 2025
(1) Puisi esai ini dramatisasi kelaparan massal yang menewaskan 35-40 juta warga karena revolusi Mao Zedong: Great Leap Forward (1949-1961).
Sumber: The Independent
Mao’s Great Leap Forward ‘killed 45 million in four years’