Catatan Denny JA: Kejayaan yang Dikalahkan Oleh Teknologi
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 13 Februari 2025 07:54 WIB
![image](https://img.orbitindonesia.com/2025/02/13/20250213080051acb0c82e-0ec0-4388-ad7f-07d4298f78dd.jpeg)
Inspirasi dari Musical Theater Sunset Boulevard, Singapura Februari 2025
ORBITINDONESIA.COM - “I’m ready for my close-up, Mr. DeMille.”
Saya siap direkam untuk film besar berikutnya. Kalimat itu bergetar di udara. Norma Desmond, dengan mata yang penuh cahaya delusi, melangkah ke depan, percaya bahwa dunia masih menunggunya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Merekam Sejarah Melalui Puisi Esai
Tetapi tidak ada kamera, tidak ada sutradara. Hanya keheningan dan tatapan kasihan. Di tangga megah yang dulu menjadi simbol kejayaannya, ia turun ke dalam kegilaan.
Sebesar apa pun seorang seniman, secemerlang apa pun bakatnya, teknologi pada akhirnya akan menang. Waktu tidak bernegosiasi.
Norma Desmond, diva era film bisu, bukan hanya dikalahkan oleh Hollywood—ia dikalahkan oleh suara.
Baca Juga: Orasi Denny JA: Berderma di Usia Dini dengan Menulis
Ia adalah raksasa industri film bisu. Ketika teknologi film suara hadir, ia menolaknya. Ia merasa kemurnian acting akan diganggu oleh teknologi suara.
Sejarah membuktikan bahwa seni selalu beradaptasi dengan teknologi atau musnah olehnya. Seperti lilin yang tak bisa melawan angin, seniman yang gagal berubah akan tertinggal di bayang-bayang kejayaannya sendiri.
-000-
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Malam Natal di Perang Dunia Pertama
Saya menonton musical theater ini sepanjang 2,5 jam. Di akhir pementasan, mayoritas penonton standing applaus, memberikan tepuk tangan sambil berdiri.
Saya ikut bertepuk tangan, berdiri, sambil berharap. Semoga Indonesia juga memgambil inisiatif menghadirkan pertunjukan teater kelas internasional.
Acapkali saya menonton musical theater di West End, London, dan Broadway, New York City. Pertunjukan teater di Singapura ini tidak kalah jauh.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Tarian Mawar Hitam, Elegi Flu Spanyol
Sunset Boulevard lahir dari layar ke panggung dengan takdir yang sama: kejayaan dan kehancuran.
Tahun 1950, Film Sunset Boulevard disutradarai oleh Billy Wilder, menjadi salah satu film noir terbesar sepanjang masa.
Lalu Andrew Lloyd Webber, maestro musikal, di tahun 1993, menghidupkan kisah ini dalam bentuk teater di Adelphi Theatre, London, dengan Patti LuPone sebagai Norma Desmond.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Haruskah Kutembak Raja dan Keluarganya?
Tahun 1994, Broadway pun jatuh cinta. Glenn Close tampil fenomenal di Minskoff Theatre, New York, memenangkan Tony Award.
Di Asia, tahun 2008, Jepang mempersembahkan adaptasi pertamanya, membawa Sunset Boulevard ke audiens Asia.
Kini, tahun 2025 – Sarah Brightman, diva dunia, membawa Norma Desmond ke Singapura, dalam pertunjukan Asia Premiere yang sangat dinanti.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Buah Beracun Revolusi
Di balik kisah ini ada dua nama besar: Andrew Lloyd Webber. Ia arsitek musik yang telah membangun dunia melalui nada, dari The Phantom of the Opera hingga Evita.
Juga berperan Don Black & Christopher Hampton, pencerita yang menjahit puisi ke dalam lirik, membuat setiap kata menjadi gema dalam kesadaran.
Mereka tidak hanya menciptakan musikal. Mereka menciptakan cermin bagi ambisi manusia, bagi ketakutan terdalam kita akan dilupakan.
-000-
Hollywood, 1949. Cahaya sorot kamera tak lagi menyinari Norma Desmond, mantan bintang film bisu yang pernah disembah dunia.
Ia masih tinggal di rumah megahnya di Sunset Boulevard, terjebak dalam ilusi kejayaan yang telah mati.
Joe Gillis, seorang penulis skenario yang gagal dan tenggelam dalam utang, secara tak sengaja memasuki dunia Norma.
Wanita itu melihatnya sebagai tiket kembali ke Hollywood. Ia menawarkan kemewahan dan keamanan, dengan satu syarat: Joe harus menulis skenario yang akan menjadi panggung kebangkitannya.
Awalnya, Joe menerima. Namun semakin lama, ia menyadari bahwa Norma bukan lagi seorang aktris, tetapi bayangan dirinya sendiri.
Norma hidup dalam masa lalu yang tak lagi ada, percaya bahwa Hollywood masih mencintainya.
Ketika studio menolak skenarionya, Norma kehilangan kendali atas kenyataan. Ia mencintai Joe, tetapi dengan cinta yang obsesif dan beracun.
Ketika Joe mencoba pergi, Norma menembaknya, membunuh satu-satunya pria yang pernah memberinya harapan.
Lalu, saat polisi tiba, sesuatu yang luar biasa terjadi. Norma, dalam kabut delusinya, percaya bahwa semua ini adalah adegan filmnya.
Dengan gemulai, ia melangkah turun, menatap ke kamera yang tak ada, dan berbisik:
“Mr. DeMille, I’m ready for my close-up.”
Di sana, dalam keheningan yang menyesakkan, ia turun bukan menuju kejayaan, tetapi ke dalam kegilaan yang tak bisa diselamatkan.
-000-
Di atas panggung, Sarah Brightman berdiri. Wajahnya yang dipenuhi cahaya lampu sorot menyerupai sebuah patung yang hampir retak. Musik mengalun.
Kata-kata itu bergema di dalam diri kita.
Karena bukankah kita semua, dalam suatu titik dalam hidup, takut akan dilupakan?
Bukankah kita semua, dalam sunyi yang paling dalam, ingin tetap dianggap ada?
Tetapi dunia tidak menunggu.
Dan yang bertahan bukanlah mereka yang terbaik. Tetapi mereka yang bisa berubah, harmoni dengan teknologi baru. (1)
Di era digital, medsos, dan AI, seniman raksasa yang menolak adaptasi menghadapi nasib lebih tragis dari Norma Desmond.
Jika dulu suara mengalahkan film bisu, kini algoritma dan tren viral dapat melenyapkan eksistensi seniman yang enggan memanfaatkan platform digital.
Menolak medsos berarti kehilangan audiens potensial, gagal membangun komunitas, dan terisolasi dari percakapan budaya. Mengabaikan AI sama dengan menyerahkan inovasi artistik pada pesaing yang lebih progresif.
Seniman yang keras kepala akan terperangkap dalam nostalgia kejayaan masa lalu, sementara dunia terus bergerak maju.
Mereka akan menjadi relik digital, dikenang namun tak relevan, bukti bahwa keengganan beradaptasi adalah kematian kreativitas.***
Singapura, 13 Feb 2025
CATATAN
(1) Industri kesenian memilih pemenangnya berdasarkan kesesuaian teknologi yang ia gunakan dengan zamannya.
ARTDEXhttps://www.artdex.comHow Technology is Changing the Art World