Puisi Esai Denny JA: Marhaen di Abad 21
- Kamis, 06 Februari 2025 10:17 WIB
![image](https://img.orbitindonesia.com/2025/02/06/20250206102349IMG-20250206-WA0000_copy_800x450.jpg)
Sejak hari itu, Rahmat tak hanya menanam padi.
Ia juga menanam kesadaran.
Ia ajak tetangga,
melihat dunia di luar ladang.
Ia sebarkan kabar:
kemiskinan bukan takdir.
Di batas senja yang merah membara,
Rahmat menulis manifesto di udara:
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Awal Mawar yang Berduri
“Setiap butir padi yang tumbuh
adalah huruf-huruf revolusi.
Setiap alur bajak yang mengurat adalah paragraf perlawanan.
Bumi ini bukan kitab mati, melainkan puisi yang harus dibaca dengan darah dan keringat!"
Angin menerbangkan kata-katanya ke dalam sumur-sumur tua, ke jantung pohon beringin yang retak, ke langit-langit gudang penuh lumbung kosong.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Aku dan Banjir Jakarta
Di sana, suaranya menjadi akar
yang menembus zaman.
-000-
Datang abad 21.
Layar handphone bersinar lebih terang dari bintang.
Gedung-gedung tinggi menelan langit.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Derita Saijah dan Adinda untuk Indonesia Merdeka
Tetapi petani tetap menunduk di sawahnya,
seperti Rahmat yang dulu bertanya:
“Untuk siapa keringatku mengalir?”