DECEMBER 9, 2022
Puisi

Puisi Esai Denny JA: Marhaen di Abad 21

image
Ilustrasi (Istimewa)

Sejak hari itu, Rahmat tak hanya menanam padi.
Ia juga menanam kesadaran.

Ia ajak tetangga,
melihat dunia di luar ladang.
Ia sebarkan kabar:
kemiskinan bukan takdir.

Di batas senja yang merah membara,  
Rahmat menulis manifesto di udara:  

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Awal Mawar yang Berduri

“Setiap butir padi yang tumbuh
adalah huruf-huruf revolusi.
Setiap alur bajak yang mengurat adalah paragraf perlawanan.

Bumi ini bukan kitab mati, melainkan puisi yang harus dibaca dengan darah dan keringat!"

Angin menerbangkan kata-katanya  ke dalam sumur-sumur tua,  ke jantung pohon beringin yang retak,  ke langit-langit gudang penuh lumbung kosong.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Aku dan Banjir Jakarta

Di sana, suaranya menjadi akar  
yang menembus zaman.  

-000-

Datang abad 21.
Layar handphone bersinar lebih terang dari bintang.
Gedung-gedung tinggi menelan langit.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Derita Saijah dan Adinda untuk Indonesia Merdeka

Tetapi petani tetap menunduk di sawahnya,
seperti Rahmat yang dulu bertanya:
“Untuk siapa keringatku mengalir?”

Halaman:

Berita Terkait