Puisi Esai Denny JA: Tokoh Revolusioner yang Hidup Sendiri
- Selasa, 04 Februari 2025 07:36 WIB
Puisi esai seri "Mereka Yang Mulai Teriakan Merdeka" (12)
ORBITINDONESIA.COM - Tahun 1949, Tan Malaka ditembak oleh tentara Indonesia. Tapi 14 tahun kemudian, 1963, ia diberi gelar pahlawan nasional. Tapi mengapa hingga usia kematiannya 51 tahun, ia hidup sendiri?1
-000-
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Tirto Adhi Soerjo, Bara Api yang Kesepian
Ia lahir di tanah yang membisikkan doa,
di rumah yang tak sekadar batu dan kayu.
Al-Qur’an ia hafal di usia belia.
Ibunya berkata, “Tuhan ada di kata-kata.”
Ayahnya menatap jauh ke bukit,
menunjukkan jalan yang tak berujung:
“Ke sanalah kau menuju!”
Di langit Minangkabau, awan selalu berpindah,
dan Tan Malaka melihat takdirnya hidup dalam pelarian.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Tjokroaminoto di Usia Senja
-000-
Di Belanda, ia menemukan kitab lain,
bukan wahyu dari langit,
tetapi Karl Marx yang bicara tentang dunia tanpa rantai.
Komunisme bukan tentang menghapus Tuhan,
tetapi menciptakan surga di bumi.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Dua Matahari di Ufuk yang Berbeda, Tjokroaminoto dan Semaun
Ia menuliskan gagasan, bukan cinta,
memilih revolusi, bukan kecupan mesra.
“Apa artinya cinta dalam dunia yang timpang?”
tanyanya dalam malam yang berbau kertas dan tinta.
-000-
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Berdirinya Partai Politik Pertama
Pulang ke Indonesia,
ia, Tan Malaka, kembali sebagai ancaman.
Seorang lelaki dengan buku dan pikiran tajam,
lebih berbahaya dibandingkan senapan serdadu.
Kolonialisme tak bisa menahan kata-katanya.
Tetapi mereka bisa menahan tubuhnya.
Ia diasingkan, dilempar ke negeri-negeri asing,
menjadi selembar daun yang diombang-ambing angin politik.
Baca Juga: Puisi Esai Mini Satrio Arismunandar: Penjahat Keji Dunia Maya yang Memerkosa Korbannya
Dari Manila ke Shanghai,
dari Hong Kong ke Bangkok,
ia hidup tanpa alamat,
tanpa tangan yang merindukannya dalam tidur.
-000-
Ketika akhirnya ia pulang,
negaranya sudah merdeka,
tetapi ia tetap asing di tanahnya sendiri.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Awal Mawar yang Berduri
Sjahrir memandangnya sebagai bayangan masa lalu.
Soekarno menganggapnya suara yang terlalu keras.
Tan Malaka tidak mencari istri,
tidak mencari rumah,
ia hanya mencari Indonesia
yang adil dan sejahtera.
Tetapi kematian lebih cepat datang,
daripada cinta yang ia tunda.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Aku dan Banjir Jakarta
-000-
Marco, sang sejarawan, menyusuri jejaknya.
Ia mencari dalam arsip, dalam surat yang tersisa:
adakah satu perempuan yang pernah Tan Malaka sebut dengan rindu?
Perempuan yang hadir dalam hidupnya adalah puisi yang tak pernah selesai ditulis.
Semua hanya menjadi alinea pembuka.
Seperti Newton, yang memilih rumus di atas pelukan,
seperti Tesla, yang mencintai listrik lebih dari manusia,
seperti Kant, yang menikahi gagasan, bukan wanita.
Tan Malaka mungkin memilih hidup sendiri,
bukan karena ia tak bisa mencinta,
tetapi karena ia hanya mencintai ide yang lebih besar.
Ia sungai yang tak membutuhkan laut,
mengalir sendiri,
menuju takdir yang bahkan sejarah pun ragu mencatatnya.
-000-
Tahun 1949, seorang tentara menembaknya.
Tapi tak ada istri yang menangis.
Tak ada anak yang kehilangan ayahnya.
Tubuhnya hilang.
Tapi gagasannya cahaya bintang,
tetap bersinar, tetap ditemukan oleh mereka yang mencari.
Marco menutup bukunya,
ia kini mengerti.
Ada orang-orang yang memilih kesepian,
bukan karena takut asmara,
tetapi karena menemukan langit yang luas dalam kesendirian.
Jakarta, 4 Februari 2025 ***
(1) Puisi esai ini dramatisasi kisah Tan Malaka yang hidup tanpa pernah menikah.