Festival Puisi Esai Jakarta II dan Perjalanan 12 Tahun Menuju Pengakuan Meluas
- Penulis : Bramantyo
- Minggu, 22 Desember 2024 13:45 WIB

Oleh Satrio Arismunandar*
ORBITINDONESIA.COM - Tanggal 13-14 Desember 2024 akan menjadi hari yang patut dicatat bagi dunia sastra Indonesia. Pada dua hari itu telah berlangsung Festival Puisi Esai Jakarta II di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat.
Betapa tidak? Festival Puisi Esai II di Taman Ismail Marzuki itu menandai sebuah perjalanan, dari titik awal kelahiran puisi esai, berbagai polemik dan perdebatan yang menyertai kehadiran puisi esai sebagai sebuah genre baru, hingga akhirnya ke penerimaan yang makin meluas terhadap puisi esai.
Baca Juga: Denny JA: AI Mempercepat Proses Kreatif Dalam Menulis Puisi Esai
Semula kehadiran puisi esai sendiri sempat dipersoalkan oleh sebagian komunitas penulis atau sastrawan di dalam negeri. Namun puisi esai sebagai sebuah genre sastra pada akhirnya bukan hanya bermain di kancah tanah air, tetapi juga merambah ke negara-negara jiran, bahkan lebih jauh lagi.
Genre puisi esai lahir pada tahun 2012. Genre ini digagas oleh Denny JA melalui buku Atas Nama Cinta, yang menyuarakan kritik sosial kemasyarakatan yang tajam. Khususnya, dalam isu-isu yang menyangkut diskriminasi, keragaman, dan hak-hak asasi manusia.
Maka, pada Desember 2024 ini, berarti sudah 12 tahun lebih puisi esai hadir dan memberi warna pada dunia sastra Indonesia. Ini perjalanan yang cukup panjang.
Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Sangat Potensial untuk Alih Wahana ke Teater, Film, dan Karya Seni Lain
Mengapa “stamina” puisi esai tidak goyah? Mengapa ia kuat bertahan? Hal ini, antara lain, karena dalam dirinya sendiri puisi esai mampu memadukan keindahan atau estetika sastra dengan pentingnya pencarian solusi atas problem-problem sosial. Harus diakui, problem-problem itu masih banyak terdapat dalam masyarakat kita.
Oleh karena itu, kehadiran puisi esai sangat relevan dengan konteks masyarakat Indonesia, walau tentu saja nilai-nilai kemanusiaan yang diangkat lewat puisi esai pada dasarnya adalah nilai-nilai universal.
Karena itulah, dapat dimengerti jika pengakuan terhadap puisi esai tak cuma berasal dari dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Pada tahun 2020, misalnya, di dalam negeri puisi esai mendapat pengakuan resmi sebagai lema baru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini patut dicatat.
Baca Juga: Denny JA: Launching 37 Buku Puisi Esai Memberi Landasan Kukuh pada Angkatan Puisi Esai
Tak cukup sampai di situ, genre puisi esai ini kemudian berkembang menjadi gerakan budaya dan komunitas, dengan diadakannya Festival Tahunan Puisi Esai ASEAN di Malaysia dan Festival Puisi Esai Jakarta.
Kiprah puisi esai di negeri jiran Malaysia, kalau boleh dibilang begitu, bukanlah sesuatu yang artifisial atau direkayasa dari Jakarta. Namun komunitas sastra di Malaysia sendiri yang berinisiatif “mengadopsi” dan memopulerkan puisi esai di sana. Artinya, mereka memang merasakan manfaat dari genre puisi esai tersebut.
“Dari awalnya sebuah eksperimen, kini puisi esai telah menjadi medium yang diakui untuk mengekspresikan isu-isu mendalam dengan cara yang menginspirasi,” tutur Denny JA, sang penggagas puisi esai.
Baca Juga: Menggunakan AI untuk Menulis Puisi Esai, Peluang dan Tantangannya
Di dalam negeri, sudah puluhan buku dan ratusan karya puisi esai diterbitkan. Puisi esai ditulis oleh para penulis sastrawan dari seluruh daerah di Indonesia. Artinya, sudah terbentuk komunitas dan “ekosistem” tersendiri menyangkut puisi esai yang tidak bisa dinafikan. Sementara, tren ini tampaknya akan terus berlanjut.
Sebuah genre sastra dapat bertahan, berkembang, dan berlanjut melalui berbagai faktor. Pertama, relevansi dengan kondisi zaman. Dalam hal ini, puisi esai mampu mencerminkan atau merespons tantangan sosial, budaya, atau politik yang ada, sehingg kehadirannya tetap relevan.
Kedua, memiliki basis pembaca yang setia. Dalam kasus puisi esai, keberadaan komunitas yang kuat memastikan genre ini akan tetap hidup melalui dukungan, diskusi, dan penciptaan karya-karya baru.
Baca Juga: Satrio Arismunandar: Penerbitan Buku Puisi Esai dari 34 Provinsi Memperkuat Genre Puisi Esai
Syukur-syukur, akan hadir juga karya-karya puisi esai yang ikonik. Kehadiran karya besar yang menjadi tonggak atau inspirasi bagi penulis lain akan memperkuat genre tersebut.
Yang juga tak boleh dilupakan adalah “kolaborasi” dengan media baru. Puisi esai tidak cuma hadir dalam bentuk teks atau buku yang dibaca, tetapi ia diadaptasi ke dalam media seperti film atau teater. Ini akan membuka audiens baru dan membantu genre puisi esai tetap relevan.
Yang juga penting adalah dukungan institusi. Ketika puisi esai masuk ke dalam kurikulum pendidikan, penghargaan sastra, atau dukungan penerbit, maka genre inin akan terus mendapat perhatian. Kombinasi inovasi dan kontinuitas inilah yang menjaga umur panjang sebuah genre sastra, dalam hal ini puisi esai.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ambillah Ginjal Ibu, Anakku
Memperingati 12 tahun kehadiran puisi esai di blantika sastra Indonesia, ada dua poin yang ingin saya angkat. Pertama, tentunya kita bersyukur bahwa puisi esai telah berperan penting dan memberi warna pada dunia sastra di tanah air, melalui karya-karya konkret yang relevan dengan semangat zamannya.
Kedua, dengan penuh semangat kita bertekad untuk terus mengembangkan genre puisi esai ini. Sehingga berkah dan manfaat keberadaannya tak cuma dirasakan oleh kalangan terbatas di tanah air, tetapi juga meluas ke kawasan regional, bahkan global. Kenapa tidak?
*Satrio Arismunandar adalah Sekjen SATUPENA. ***