Selamat Datang, Angkatan Puisi Esai
- Minggu, 15 Desember 2024 15:39 WIB
Oleh: Ahmad Gaus AF
ORBITINDONESIA.COM - “Kehebohan atas lahirnya puisi esai melampaui kehebohan semua peristiwa sastra di Indonesia.”
Kata-kata itu diucapkan oleh Agus R. Sarjono, di acara Festival Puisi Esai ASEAN ke-3 di Sabah, Malaysia, pada 8 Juni 2024.1 Sebagai penyair dan sekaligus pengamat sejarah sastra, Agus tentu memiliki alasan ketika mengemukakan pandangannya yang terkesan bombastis tersebut. Sebab, sejarah sastra di tanah air tidak pernah sepi dari gejolak, baik gejolak internal menyangkut karya itu sendiri maupun peristiwa politik yang melibatkan, atau menyeret, sastra ke kancah pertarungan ideologi dan kekuasaan. Dan, dari berbagai peristiwa itu, Agus menyebut gejolak di seputar puisi esailah yang paling heboh.
Klaim seputar kehebohan di sekitar kelahiran dan perkembangan puisi esai sebenarnya sudah cukup lama. Misalnya, dalam acara debat puisi esai yang gelar oleh Yayasan Budaya Guntur pimpinan dramawan dan aktivis Isti Nugroho pada 16 Februari 2018 di Jakarta, telah muncul pernyataan bahwa kontroversi puisi esai merupakan yang paling heboh sejak kemerdekaan.2 Acara debat itu menghadirkan dua kubu pro kontra atas puisi esai. Kubu pro diwakili oleh kritikus sastra Narudin dan penyair Krt Agus Nagoro, dan kubu kontra diwakili oleh Saut Situmorang dan Eko Tunas. Dua nama terakhir ini, selain banyak nama sastrawan lainnya, telah melakukan perlawanan terhadap puisi esai sejak pertama kali puisi ini diklaim sebagai genre baru dalam sastra Indonesia.
Suasana debat yang sangat riuh itu sempat terhenti ketika seorang partisipan mengatakan bahwa semakin kita meributkan puisi esai justru akan membuat puisi ini semakin terkenal. Dan itu akan menguntungkan Denny JA sebagai penggagas puisi esai. “Jadi sebaiknya kita hentikan debat-debat semacam ini; mari kembali ke habitat masing-masing dan berkarya.”
Sebuah ajakan yang disambut dingin oleh para peserta. Tapi, mungkin dia benar. Kontroversi sekitar puisi esai ikut berkontribusi terhadap popularitas puisi esai itu sendiri karena mendorong terjadinya diskusi di ruang publik. Sejauh mana tingkat kontribusinya? Masih menjadi pertanyaan. Studi yang dilakukan oleh Chen dan Berger menyebutkan bahwa hubungan antara kontroversi dan diskusi publik didorong oleh dua proses yang berlawanan. Kontroversi meningkatkan kemungkinan terjadinya diskusi namun secara bersamaan meningkatkan ketidaknyamanan, yang menurunkan kemungkinan terjadinya diskusi.3
Dalam konteks puisi esai, jelas terjadi ketidaknyamanan, khususnya yang dialami oleh para pendukung puisi ini, karena mereka menjadi sasaran pembullyan yang nyaris tidak berkesudahan. Bahkan tidak sedikit penyair yang semula menulis puisi esai, akhirnya menarik dari dan tidak mau menjadi bagian dari gerakan puisi esai.
Bagusnya, karya-karya puisi esai terus bermunculan dan perkembangannya terus berlangsung tanpa terganggu oleh, atau tergantung pada, kontroversi yang mengelilinginya. Artinya, puisi esai tumbuh dan berkembang karena proses kreatif di dalam dirinya sendiri.
Debat puisi esai yang digelar oleh Yayasan Budaya Guntur pada 2018 itu sendiri berlangsung sebanyak enam kali. Dan pada masa itu sudah terbit 70 buku puisi esai yang ditulis oleh 250 penulis puisi esai di seluruh provinsi, dari Aceh hingga Papua. Menurut Narudin, perkembangan semacam itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa kini (saat itu, 2018) telah lahir angkatan baru dalam sastra Indonesia yaitu Angkatan Puisi Esai.
Klaim Agus R. Sarjono tentang kelahiran Angkatan Puisi Esai lebih kuat lagi. Karena pada saat dia mengatakan itu sudah terbit lebih dari 100 buku puisi esai dan puluhan kajian puisi esai yang ditulis oleh kritikus dalam dan luar negeri.