Mengapa Puisi Esai Kini Sudah Layak Menjadi Sebuah Angkatan dalam Sastra Indonesia
- Minggu, 15 Desember 2024 17:02 WIB
Oleh: Dr. Imam Qalyubi, S.S., M.Hum.
ORBITINDONESIA.COM -
Latar Belakang
Sebuah ungkapan yang koheren dengan bahasan dari artikel ini dari seorang ultra eksistensialis Friedrich Nietzsche yang mengatakan “Sometimes people don't want to hear the truth because they don't want their illusions destroyed.” ‘Terkadang orang tidak ingin mendengar kebenaran karena mereka tidak ingin ilusi mereka hancur’ dalam hal ini Nietzsche menyoroti bagaimana kita menghadapi sebuah kenyataan-kenyataan baru yang hadir di tengah kita, namun seringkali kita sulit menerimanya, karena bertentangan dengan keyakinan atau pandangan lama yang sudah nyaman.
Demikian halnya dengan kehadiran puisi esai di tengah-tengah kesusasteraan Indonesia, sebagian menyikapinya secara primordial.
Sebagai sebuah “genre baru” puisi, puisi esai kehadirannya telah menyentak atmosfer dunia sastra Indonesia yang selama ini beraktivitas “damai”. Tiba-tiba saja dunia sastra diriuhkan oleh berbagai gosip atas lahirnya puisi esai. Sebagian berapriori dan sebagian yang lain masih penasaran dengan keingintahuan yang mendalam.
Media sosial menjadi salah satu yang mendorong, cepatnya informasi berkembang, terutama di kalangan para sastrawan, akademisi, kritikus sastra, maupun para penikmat sastra.
Pada sebuah grup WA. yang keseluruhan anggotanya merupakan kumpulan para sarjana sastra, ketika menyinggung masalah puisi esai sontak beragam respon bermunculan, hingga terjadi sebuah perdebatan yang cukup sengit antara kelompok yang mendukung, menolak dan kelompok tengah.
Belum lagi adanya perdebatan di media sosial lainnya seperti facebook yang lebih sengit, hingga perdebatan tersebut melebar di luar jaringan.
Timbul pertanyaan mengapa penolakan, kontroversi, perdebatan terkait kemuculan puisi esai begitu keras di sebagian kalangan sastrawan, maupun akademisi? Melihat dari beragam penolakan-penolakan yang dilakukan sebagian penyair selama ini, terdapat beberapa kemungkinan. Hal yang pertama yang menjadi sorotan, bukan pada gagasan yang dibawa, namun lebih kepada sang penggagas, yaitu Denny JA, yang dikenal masyarakat sebagai konsultan politik, sehingga terdapat kekhawatiran adanya sastra akan dibawa ke gelanggang politik atau sebaliknya politik akan menginterfensi dunia sastra, sebuah asumsi yang cukup rasional; Kedua, kelompok yang menolak “klaim” Denny JA yang diprasangkakan sebagai penemu puisi esai atau klaim puisi esai sebagai genre baru puisi, padahal Denny sendiri, sejauh dalam pengamatan penulis tidak pernah menyatakan, bahwa puisi esai yang dia perkenalkan merupakan temuannya dan tidak juga mengklaim bahwa puisi esai sebagai genre baru. Ketiga adanya kekuatan uang di belakang puisi esai, sehingga kelompok tertentu menganggap, bahwa orang-orang yang terlibat di dalam puisi esai adalah orang-orang yang hanya mementingkan materi.