Mengapa Puisi Esai Kini Sudah Layak Menjadi Sebuah Angkatan dalam Sastra Indonesia
- Minggu, 15 Desember 2024 17:02 WIB
Berangkat dari hasil kajian tersebut Denny JA, mulai melakukan tahapan untuk merancang sebuah format puisi yang sesuai dengan kebutuhan pembaca, yang mudah dipahami dan mampu menjembatani antara pengarang dan pembaca.
Melalui upaya sistematis, terencana dan terarah dalam proses rancang bangun puisi masa depan ini, akhirnya prototype puisi esai dalam perpuisian Indonesia ini lahir. Ijtihad progresif Denny JA ini telah merubah cara pandang lama masyarakat, bahwa puisi hanya milik pengarang atau kelas intelektual tertentu yang eksklusif.
Berbeda dengan puisi esai yang hadir dengan ramah menyapa semua pembaca dari latar belakang apapun bahkan pembaca juga dapat terlibat sebagai penulis puisi esai.
2. “Genre Baru” di Tengah Kejumudan Sastra Indonesia
Denny JA sendiri memang bukanlah seorang sastrawan kultural yang menapak kepenyairannya dari bawah, Denny adalah seorang penyair struktural yang berijtihad dengan proses sistematik dan terstruktur.
Empati yang mendalam atas fenomena sastra di Indoensia sebagaimana yang telah diuraikan sebelumya, membawanya pada sebuah gagasan yang gemilang yaitu “genre baru” puisi, yaitu puisi esai.
Denny sendiri, mengakui bahwa puisi esai yang digagasnya bukan rintisan jalan baru, ia hanya menghidupkan kembali tradisi puisi bercerita dari nenek moyang Indonesia. Sebuah sikap yang luar biasa dari seorang Denny JA, terutama pada pengakomodasiannya terhadap tradisi and kearifan lokal bangsa Indonesia.
Karakter puisi esai memiliki kesamaan dengan apa yang telah dituangkan oleh pujangga sastra klasik Jawa Empu Prapanca dalam Desa Warnana, Empu Tantular dalam Sutasoma, dan pujangga anonim penulis Kidung Sundayana di era sastra klasik sunda, serta Lontara Iga Galigo yang ditulis para puang lontara pada era sastra klasik Sulawesi.
Sastra klasik merupakan genre sastra yang memadukan antara cerita dengan penyajian tipografi, diksi, citra, harmonisasi bunyi sebagaimana norma-norma yang diberlakukan dalam sebuah puisi.
Demikian halnya soal catatan kaki, Denny juga mengakui, bahwa sejak dari dulu para sastrawan di dunia seperti Alexander Pope hingga politisi Mao Tse Tung juga menulis puisi dengan catatan kaki.
Tidak ada yang perlu dipermasalahkan adanya sebuah karya yang terpengaruh atau dipengaruhi oleh karya lain.