Heboh Sastra Masuk Kurikulum Merdeka, Apa Kata Dunia?
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 26 Mei 2024 14:08 WIB
“Buku” di atas jelas tidak memenuhi standar perbukuan yang mana pun: sajiannya buruk, penyuntingannya buruk, bahasanya buruk, isinya buruk, dan seterusnya. Saya katakan satu hal saja, sebagai contoh: “buku” itu menyebarkan disinformasi, jika bukan kebohongan; mengandung bukan hanya kesalahan-keteledoran, tetapi kesalahan yang bersifat “sistematis” akibat cara kerja yang bobrok. Susah dipercaya, bagaimana mungkin hasil kerja yang seceroboh dan seburuk ini (akan) digunakan untuk memajukan pendidikan dan persekolahan.
Saya mendukung ketajaman kritik Nirwan. Sebab, informasi tentang diri saya sendiri pada subbagian Latar Belakang Penulis (hal. 705) semuanya k-e-l-i-r-u. Tidak sebagian kecil, tidak separuh. Semuanya.
Dari tanggal lahir (tertulis 3 Juli 1946, yang berarti usia saya hanya lima tahun lebih muda dari ayah saya yang lahir pada 1941), tempat lahir saya (tertulis Bukittinggi, sementara saya lahir di Jakarta), pendidikan saya (tertulis pendidikan dasar dan menengahnya di Bukittinggi, sedangkan pendidikan tinggi dijalani di Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat. Padahal saya bersekolah TK, SD, SMP, SMA di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, dan pendidikan tinggi di FISIP Universitas Indonesia, Depok).
Baca Juga: Buku Berjudul 40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi: Serpihan Memori Diplomat Indonesia Diluncurkan
Kaitan saya dengan Universitas Andalas hanya sebagai penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional pada acara yang berlangsung di kampus FIB Unand, Desember 2022. Penghargaan diberikan oleh Dekan Prof. Dr. Herwandi, M. Hum. Di antara penerima lainya, untuk kategori Akademisi/Peneliti Internasional diberikan kepada Prof. Yumi Sugahara, filolog dari Universitas Osaka, Jepang.
Padahal jika tim penyusun 'buku panduan' memang membaca novel Nagabonar Jadi 2, pada halaman terakhir “Tentang Penulis” ada informasi akurat tentang tempat dan tanggal lahir saya, dan informasi lainnya, dibandingkan info—meminjam istilah Nirwan—"disinformasi, jika bukan kebohongan", yang entah dikutip dari sumber mana dan begitu melencengnya bahkan dibandingkan data yang tersedia di Wikipedia.
Kesalahan informasi tentang saya lainnya yang tak kalah fatal adalah pada bagian ini, “Namun, karya paling terkenalnya adalah seri novel Rantau 1 Muara yang menelusuri kehidupan masyarakat Minangkabau …”
Baca Juga: Chris Poerba: Dua Buku tentang Tragedi Mei 1998, Kekerasan Seksual dan Komnas Perempuan
Ini benar-benar mencemaskan!
Bagaimana bisa tim Kemendikbud/Pusat Buku yang ditopang 17 kurator dari kalangan sastrawan ternama dan 39 reviewer dari kalangan guru dan kepala sekolah berpengalaman beragam jenjang pendidikan, sampai sedemikian sembrono menisbatkan karya monumental A. Fuadi (yakni trilogi Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna dan) Rantau 1 Muara sebagai karya saya?
Bagaimana jika info dalam “buku panduan" itu disampaikan mentah-mentah oleh guru SMA/MI kepada para anak didik tanpa sempat dicek lagi kesahihannya?
Dalam konteks novel Nagabonar Jadi 2, seharusnya tim penyusun 'buku panduan' juga menambahkan informasi bahwa karakter Nagabonar ini diciptakan oleh Asrul Sani melalui film Naga Bonar (1986) dan mendapat penyempurnaan dari Deddy Mizwar sebagai aktor yang memerankan tokoh itu, sekaligus sebagai sutradara pada film kedua yang berselang 21 tahun kemudian (2007). Adalah fakta bahwa aetelah Asrul Sani, orang kedua yang paling memahami karakter dan sosok Nagabonar adalah Deddy Mizwar. Bukan saya. Maka apresiasi yang sepatutnya juga perlu diberikan kepada dua tokoh tersebut di dalam ‘buku panduan’ secara gamblang sehingga tidak terkesan bahwa Nagabonar Jadi 2 merupakan karya orisinal saya, meski saya penulis novelnya.