Heboh Sastra Masuk Kurikulum Merdeka, Apa Kata Dunia?
- Penulis : Krista Riyanto
- Minggu, 26 Mei 2024 14:08 WIB
Untuk kritik Nirwan saya cukupkan satu poin saja dari sejumlah poin lain (yang lebih serius) karena keterbatasan ruang tulisan ini. Bagi yang tertarik meneroka Surat Terbuka Nirwan Dewanto lebih seksama, silakan baca pada tautan berikut ini:
https://www.kurungbuka.com/surat-terbuka-nirwan-dewanto-kepada-kurator-sastra-masuk-kurikulum-2024/
Opini saya ini memang belum menyelusup ke jantung program “Sastra Masuk Kurikulum” yang dipersoalkan Nirwan, dan sejumlah kalangan lain yang riuh rendah di media sosial dalam beberapa hari terakhir. Saya hanya ingin menyajikan contoh sederhana tentang karut-marut penyajian “buku panduan” yang ternyata tidak berhasil memandu pembaca dengan informasi sahih.
Baca Juga: Buku Berjudul 40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi: Serpihan Memori Diplomat Indonesia Diluncurkan
Sebagai contoh pembanding, saya sampaikan sebuah kegiatan di Bulan Bahasa Oktober 2009, di Auditorium SMA Pelita Harapan, Lippo Village, Karawaci, Kabupaten Tangerang, Banten. Saat itu saya diundang pihak sekolah untuk menjelaskan proses kreatif penulisan novel Nagabonar Jadi 2 dilanjutkan dengan tanya jawab dengan para siswa. Sebuah kegiatan literasi yang terlihat biasa saja, bukan?
Yang tidak biasa adalah seluruh murid sudah membaca novel itu sebelum acara dimulai sehingga diskusi benar-benar berjalan aktif dan produktif. Kualitas pertanyaan yang diajukan pun seperti dosen pembimbing yang menguji skripsi mahasiswa. Tidak ada pertanyaan trivia atau bersifat basa-basi.
Di tempat yang sama, pada Bulan Bahasa tahun sebelumnya, saya menyaksikan langsung bagaimana Ahmad Tohari juga mendapat pertanyaan kritis tentang Ronggeng Dukuh Paruk dari anak-anak SMA yang sudah membaca novel itu dan memiliki pengetahuan kesastraan lebih tinggi bahkan dibandingkan rerata mahasiswa (kecuali mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia).
Baca Juga: Chris Poerba: Dua Buku tentang Tragedi Mei 1998, Kekerasan Seksual dan Komnas Perempuan
Artinya, program semacam “Sastra Masuk Kurikulum” ini sebenarnya sudah berlangsung lama pada sekolah-(sekolah) tertentu, bahkan sekolah swasta, yang berdasarkan citra mereka—seperti Pelita Harapan itu—seakan tidak peduli dengan Sastra Indonesia, tetapi tanpa banyak publikasi gegap-gempita justru punya program serius mengenalkan karya penulis Indonesia.
Kendati demikian, setelah melihat daftar lengkap 177 karya sastra yang direkomendasikan kepada anak didik dari jenjang SD – SMA, saya melihat kerja kurator (17 orang sastrawan produktif saat ini seperti Eka Kurniawan, Okky Madasari, Triyanto Triwikromo, M. Aan Mansyur, Abidah El-Khalieqy, Oka Rusmini, dan lain-lain) serta para reviewer (39 orang guru dan kepala sekolah) sudah cukup baik dan representatif dalam pilihan karya. Baik berdasarkan rentang tahun terbit karya yang mencakup satu abad (karya tertua adalah roman Si Jamin dan Si Johan gubahan Merari Siregar, terbit 1921), dan keseimbangan pilihan komposisi karya serius dan populer (ada seri Lupus dari Hilman Hariwijaya, Balada Si Roy karya Gol A Gong, atau Karmila dari Marga T).
Masuknya karya para kurator ke dalam daftar rekomendasi seperti Cantik Itu Luka (Eka Kurniawan), atau Surga Sungsang (Triyanto Triwikromo), menurut saya bukan sebuah privilese ‘ordal’ apalagi pengkhianatan idealisme, mengingat para kurator juga para penulis berbobot peraih beragam penghargaan penulisan di ajang nasional dan internasional. Sehingga jika ke-17 kurator diharamkan merekomendasikan karya sendiri sebagai bacaan para siswa, maka untuk jangka panjang tidak akan ada lagi kalangan sastrawan yang bersedia ditunjuk menjadi kurator untuk tugas seperti ini karena berarti harus mengorbankan karya pribadi.
Terakhir, adalah lazim berdasarkan riwayat aneka ragam “daftar rekomendasi”, “karya pilihan”, atau apapun nama yang disematkan, hasil akhir akan selalu mengundang pro-kontra khalayak. Tak akan pernah bisa memenuhi keinginan semua kalangan.