DECEMBER 9, 2022
Kolom

Heboh Sastra Masuk Kurikulum Merdeka, Apa Kata Dunia?

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Oleh Akmal Nasery Basral*

ORBITINDONESIA.COM - Apa persamaan antara buku sastra dan 'Jenderal' Nagabonar, sang pencopet fiktif nan legendaris? Jawab: keduanya sama-sama masuk Kurikulum Merdeka.

Kok bisa? Nah, ini sebabnya. Mulai tahun ajaran baru 2024, novel Nagabonar Jadi 2 (2007) yang saya tulis termasuk dalam daftar 105 karya sastra rekomendasi Kemendikbudristek bagi para siswa jenjang SMA/SMK/MA/MAK di seluruh Indonesia.

Baca Juga: Buku Berjudul 40 Tahun Mengabdi di Dunia Diplomasi: Serpihan Memori Diplomat Indonesia Diluncurkan

Karya sastra lainnya pada kelompok ini adalah Belenggu (Armijn Pane, novel, 1940), Atheis (Achdiat K. Mihardja, novel, 1949),  Robohnya Surau Kami (AA Navis, cerpen, 1956), Raumanen (Marianne Katoppo, novel, 1977), Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer, novel, 1980), Orang-Orang Bloominton (Budi Darma, kumpulan cerpen, 1980), Burung-Burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya, novel, 1981), O, Amuk, Kapak (Sutardji Calzoum Bachri, kumpulan puisi, 1981), Adam Makrifat (Danarto, kumpulan cerpen, 1982), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari, novel, 1982), Canting (Arswendo Atmowiloto, novel, 1986), Merahnya Merah (Iwan Simatupang, novel, 1987), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (Kuntowijoyo, cerpen, 1992), Saksi Mata (Seno Gumira Ajidarma, cerpen, 1994), Malu Aku Jadi Orang Indonesia (Taufiq Ismail, puisi, 1998), Gadis Kretek (Ratih Kumala, novel, 2012), dan Laut Bercerita (Leila S. Chudori, novel, 2017), untuk menyebut beberapa contoh.

Apakah saya senang? Tentu saja. Tak bisa dipungkiri secercah rasa bungah muncul mendekati sensasi bahagia yang saya alami saat cerpen bahasa Inggris saya “Swans of The Rising Sun” bersanding dengan karya Günter Grass, penerima Nobel Sastra 1999, dalam antologi solidaritas sosial 42 penulis internasional dari  15 negara berjudul Project Sunshine for Japan (2013) yang digagas Mansoureh Rahnama dari Universitas Dortmund, Jerman. (Cerpen itu kemudian saya kembangkan menjadi novel bahasa Indonesia berjudul Te o Toriatte (Genggam Cinta) diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2019).

Namun yang mereduksi sukacita saya atas keberuntungan Nagabonar Jadi 2 terpilih sebagai novel rekomendasi program “Sastra Masuk Kurikulum” adalah tersebab info itu saya ketahui dari informasi media massa dan berkas PDF “Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra” setebal 784 halaman yang lalu-lalang di media sosial.  Bukan dari pemberitahuan resmi Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek sebagai penanggungjawab program “Sastra Masuk Kurikulum” kepada saya sebagai penulis buku. Tak ada surat pemberitahuan resmi, apalagi undangan menghadiri acara.

Baca Juga: Chris Poerba: Dua Buku tentang Tragedi Mei 1998, Kekerasan Seksual dan Komnas Perempuan

Padahal dengan sebagian pengarang yang sudah wafat pada daftar buku rekomendasi, serta konperensi pers dan peluncuran program yang dihelat besar-besaran di Kemendikbud, Senin lalu (20/5), apa sulitnya menghormati para pengarang yang masih hidup dan karya mereka tercantum pada daftar 177 karya sastra rekomendasi (43 karya untuk SD/MI, 23 karya untuk SMP/Mts, 105 karya untuk SMA/MI)? Apalagi di era digital ketika para pengarang memiliki akun media sosial di pelbagai aplikasi yang mudah dihubungi.

Dari hal kecil ini kita mengancik problem yang lebih besar. 

Sastrawan Nirwan Dewanto--buku kumpulan puisinya Jantung Lebah Ratu (2008) juga termasuk dalam daftar karya sastra rekomendasi untuk siswa jenjang SMA/MI--sudah menyiarkan Surat Terbuka kepada Kurator Sastra Masuk Kurikulum 2024 dengan rangkaian diksi yang lebih tajam dari sengatan lebah ratu.

Baca Juga: Hendardji Soepandji Luncurkan Empat Jilid Buku Biografinya di Balai Pustaka, Ada Cerita tentang Reformasi 1998

Saya kutip cuplikan kritiknya tentang buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang sudah beredar luas itu:

Halaman:
1
2
3
4

Berita Terkait