In Memoriam Abdul Hadi WM: Penulis Besar Selalu Hidup Melalui Karyanya
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 19 Januari 2024 11:34 WIB
Perdebatan tentang mana yang penting isi atau bentuk dalam penulisan sajak, merupakan perdebatan lama dalam sejarah sastra Indonesia atau Melayu.
Ia telah timbul setidaknya pada masa Hamzah Fansuri pada abad ke-16 ketika dunia persajakan cenderung dekaden karena isinya hanya hal-hal yang bertalian dengan masalah yang superficial.
Pada tahun 1930-an, penyair-penyair Pujangga Baru seperti Sanusi Pane dan Sutan Takdir Alisyahbana juga memperdebatkan. STA memperdebatkan sajak-sajak yang indah bentuknya, namun isinya hampa semangat dan perjuangan.
Baca Juga: Puisi Syaefudin Simon: Wiji Thukul
Sajak-sajak Denny JA dapat digolongkan sebagai sajak yang mengutamakan isi. Karya semacam itu disebut sastra bertendenz. Ada pun isinya adalah kritik sosial. Yang disorot penulis ialah keadaan di sekitar masa Reformasi pada tahun 1998 dan sesudahnya.
Dalam perkembangan kepenulisannya, ternyata Denny JA bukan penulis sajak atau penyajak yang cepat puas dengan pencapaian yang diraihnya.
Marilah kita lihat sekilas bagaimana perkembangan kepenulisan penyajak ini.
Baca Juga: VIRAL, Video Gus Mus Baca Puisi: Ada Republik Rasa Kerajaan, Sindir Siapa Ini?
Kumpulan sajaknya yang pertama ialah Atas Nama Cinta.
Dalam kumpulan ini dia mengungkapkan kegelisahannya melihat situasi masyarakat usai reformasi 1998.
Kegelisahannya itu tertumpu pada korban-korban yang berjatuhan kala itu disebabkan tindakan kekerasan berlatar diskriminasi, intoleransi dan persekusi.
Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah
Ia menyebut saja-sajaknya itu sebagai tangga perjuangan untuk tujuan yang lebih besar, yaitu “Indonesia tanpa Diskriminasi”.