In Memoriam Abdul Hadi WM: Penulis Besar Selalu Hidup Melalui Karyanya
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 19 Januari 2024 11:34 WIB
/Kembali pulang/ Ke rumah kasih-Mu.”
Sayang Denny lupa akan bagian penting dalam Surat al-Fatihah. Yaitu yang bunyi ayatnya “Iyaa kanakbudu wa iyya kanasta’in (Hanya kepada-Nya kami menyembah dan memohon pertolongan).
Ayat ini sering dikutip para sufi dalam perbincangan mereka bekenaan dengan tasawuf sebagai jalan keruhanian.
Baca Juga: Puisi Syaefudin Simon: Wiji Thukul
Dalam tradisi sastra Melayu seorang penyajak atau penyair sering menyebut dirinya sebagai orang asing atau anak dagang. Ini kita temui dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri, dan syair-syair tasawauf karangan salah sorang muridnya dari Minangkabau Syekh Tamaie yaitu Syair Dagang.
Sebagai penanda kepengarangan, kata dagang, diilhami oleh hadis yang lebih kurang berbunyi, “Pergilah ke dunia sebagai anak dagang (orang asing), singgahlah sementara waktu, dan ingatlah akan azab kubur.” Orang hidup di dunia adalah seperti anak dagang, yaitu orang yang merantau ke negeri asing.
Di rantau ia harus mengumupulkan bekal untuk dibawa pulang ke kampung halamannya. Kampung halamannya bukan hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Bekal untuk dibawa ke kampung akhirat ialah amal saleh.
Baca Juga: VIRAL, Video Gus Mus Baca Puisi: Ada Republik Rasa Kerajaan, Sindir Siapa Ini?
Dalam hadis yang dimaksud kata-kata yang digunakan untuk anak datang atau anak rantau ialah gharib. Arti harfiah dari perkataan orang asing ialah mereka yang mengembara ke negeri lain untuk menuntut ilmu seraya berniaga/berdagang agar supaya bisa mandiri dalam menjalani hidupnya.
Penyair Pujangga Baru Sanusi Pane menggunakan penanda kepengarangan seperti kelana (dakam antologi Madah Kelana) dan Amir Hamzah menggunakan ungkapan musafir lata.
Dalam sajak “Ðoa” Chairil Anwar menyebut dirinya “pengembara di negeri asing”.
Baca Juga: Denny JA: Puisi Esai Waktunya Masuk Kampus dan Sekolah
-000-