Mengulas Buku Malcolm Gladwell, "Talking to Strangers" tentang Kegagalan Memahami Orang Asing
- Penulis : Abriyanto
- Senin, 11 Agustus 2025 01:51 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Memahami orang asing adalah tantangan yang sudah lama dan terus menerus, setua peradaban itu sendiri, seterus perkembangan bahasa, perdagangan, dan diplomasi. Namun di dunia modern yang saling terhubung, tantangan ini menjadi semakin rumit dan berisiko.
Malcolm Gladwell, dalam bukunya Talking to Strangers, menunjukkan bahwa kegagalan memahami orang asing sering kali bukan karena kebodohan atau niat jahat, melainkan karena bias-bias kognitif yang melekat dalam cara kita berinteraksi.
Dua kisah nyata—Sandra Bland dan Amanda Knox—menjadi cermin tragis dari bahaya salah tafsir ini.
Pada Juli 2015, Sandra Bland, seorang perempuan Afrika-Amerika penuh semangat dan cita-cita, sedang memulai bab baru hidupnya.
Baca Juga: Resensi Buku Bayangan yang Tumbuh dari Revolusi: Membaca The New Class (1957) Karya Milovan Djilas
Ia baru diterima bekerja di almamaternya, Prairie View A&M University, dan berencana melanjutkan studi magister.
Namun, perjalanan pulangnya dari kampus berakhir tragis. Di jalan raya, ia dihentikan oleh polisi bernama Brian Encinia karena tidak menyalakan lampu sein.
Awalnya interaksi berlangsung normal, tetapi memburuk ketika Bland menolak mematikan rokoknya di dalam mobil.
Encinia menafsirkan nada suara dan ekspresi Bland sebagai tanda bahaya. Bagi Gladwell, inilah contoh bagaimana keyakinan pada transparency — gagasan bahwa perilaku luar mencerminkan kondisi batin secara akurat— dapat menjadi jebakan mematikan.
Bland sedang frustrasi dan defensif, tetapi Encinia melihatnya sebagai ancaman. Ia bertindak agresif, mengeluarkan stun gun, dan menahan Bland. Tiga hari kemudian, Bland ditemukan meninggal di sel tahanan.
Gladwell menyebut kasus ini sebagai “konvergensi kegagalan” — ketika asumsi keliru, bias perilaku, dan kesalahpahaman konteks bertemu dalam satu titik.
Kasus Amanda Knox di Italia pada 2007 memberikan pelajaran serupa. Knox, seorang mahasiswa Amerika, dituduh membunuh teman sekamarnya, Meredith Kercher.
Bukti fisik lemah, tetapi perilakunya di mata polisi dan media dianggap “mencurigakan.” Knox melakukan split di kantor polisi, tersenyum, memeluk pacarnya, dan berbicara dengan santai, perilaku yang menurutnya normal, tetapi dianggap tidak pantas bagi seseorang yang berduka.
Baca Juga: Resensi Buku Collapse (2005): How Societies Choose to Fail or Succeed Karya Jared Diamond
Gladwell menyebut ini mismatch: orang yang bersalah bisa tampak tidak bersalah, dan orang yang tidak bersalah bisa terlihat seolah menyembunyikan sesuatu.
Kedua kisah ini menggarisbawahi salah satu tema utama Gladwell: kita terlalu percaya diri pada kemampuan membaca orang asing melalui kesan pertama. Kita meyakini bahwa tatapan mata, bahasa tubuh, atau nada suara bisa mengungkap kebenaran. Padahal, semakin kita mengandalkan intuisi ini, semakin besar kemungkinan kita salah.
Neville Chamberlain, Perdana Menteri Inggris pada 1938, berkali-kali bertemu Adolf Hitler dan pulang dengan keyakinan bahwa ia membawa “perdamaian untuk zaman kita.” Ia keliru. Orang-orang yang justru paling akurat membaca niat Hitler — seperti Winston Churchill — tidak pernah bertemu dengannya.
Masalahnya, kita hidup dalam budaya yang mendorong keyakinan bahwa “melihat langsung” adalah kunci memahami seseorang. Kita percaya wawancara kerja akan mengungkap kandidat terbaik, atau bahwa bertatap muka memberi kita keunggulan menilai karakter.
Penelitian yang dikutip Gladwell menunjukkan sebaliknya. Hakim yang memutuskan pemberian jaminan setelah melihat dan mendengar terdakwa ternyata lebih buruk dalam memprediksi risiko kejahatan ulang dibandingkan algoritma komputer yang hanya memproses data objektif seperti usia dan catatan kriminal.
Di sinilah konsep default to truth — kecenderungan manusia untuk memercayai — menjadi paradoks. Di satu sisi, kepercayaan adalah lem perekat masyarakat; tanpa itu, kolaborasi dan kehidupan sosial akan runtuh. Di sisi lain, kepercayaan membuat kita rentan terhadap penipuan, seperti dalam kasus mata-mata Kuba yang selama bertahun-tahun berhasil menipu CIA.
Namun, seperti kata psikolog Tim Levine yang dikutip Gladwell, default to truth adalah “kesepakatan evolusioner yang menguntungkan.” Kegagalan sesekali adalah harga yang wajar untuk kelancaran komunikasi sosial.
Kisah Bland dan Knox juga menunjukkan kegagalan memahami coupling — bahwa perilaku sering kali tergantung pada konteks.
Encinia menganggap daerah tempat ia menghentikan Bland sebagai “zona kejahatan tinggi” padahal tidak, lalu menerapkan taktik agresif yang sebenarnya hanya relevan di titik-titik rawan.
Baca Juga: Kepsek SMAN 3 Toboali Elya Rosda Luncurkan Buku di Gedung Layanan Perpustakaan Daerah
Demikian pula, perilaku Knox yang santai di kantor polisi tidak bisa dipahami tanpa mempertimbangkan latar belakang budayanya dan kondisi psikologis saat itu.
Jika memahami orang asing begitu sulit, apa yang bisa kita lakukan? Gladwell mengusulkan dua hal: kerendahan hati dan pembatasan. Kerendahan hati berarti mengakui bahwa kita tidak tahu semua tentang orang asing, meski telah berbicara atau menatap mereka lama. Pembatasan berarti menghindari teknik interogasi atau penilaian yang memberi tekanan berlebihan, karena justru memperburuk kualitas informasi yang kita dapat.
Memahami orang asing membutuhkan kesediaan untuk menahan diri dari penilaian cepat. Ia menuntut kita bertanya, “Apa yang tidak saya ketahui?” alih-alih “Apa yang sudah saya yakini?”
Baca Juga: Buku "The Power of Now" Karya Eckhart Tolle: Kebebasan Spiritualitas dan Kebahagiaan Sejati
Ia mengajak kita menggeser fokus dari membaca orang ke memahami situasi mereka. Tragedi Sandra Bland dan kesalahan penilaian terhadap Amanda Knox seharusnya menjadi pengingat bahwa salah tafsir bukan hanya masalah pribadi, tetapi masalah sistemik.
Lembaga hukum, politik, dan sosial kita masih dibangun di atas asumsi bahwa transparansi itu nyata, bahwa tatapan mata adalah kebenaran, bahwa semakin dekat kita dengan seseorang, semakin kita memahaminya. Gladwell mematahkan semua asumsi itu.
Mungkin pelajaran paling penting adalah ini: ketika keadaan menjadi buruk dengan orang asing, jangan terburu-buru menyalahkan mereka. Kemungkinan besar, kegagalan itu adalah milik kita. Karena kita terlalu yakin bahwa orang asing itu mudah dibaca.
(Oleh Edhy Aruman, wartawan senior) ***