Resensi Buku Kebangkitan Syiah: Islam, Konflik, dan Masa Depan
- Penulis : Irsyad Mohammad
- Minggu, 29 Juni 2025 21:52 WIB

ORBITINDONESIA.COM- Ada buku yang menjelaskan politik Timur Tengah yang ditulis oleh Vali Nasr, putra dari cendekiawan Islam terkemuka Sayyid Hussein Nasr. Ada buku yang menyelam ke dalam jantung kebatinan, kerinduan, dan amarah yang membentuk gelombang sejarahnya. Kebangkitan Syiah karya Vali Nasr adalah yang kedua—sebuah karya yang bukan sekadar memetakan pergeseran kekuasaan, tetapi menyentuh getaran seismik identitas yang terpendam berabad-abad, kini menuntut pengakuan. Nasr tidak menulis dari menara gading akademisi; ia menulis dari pusaran arus yang mengubah wajah kawasan ini, membawa kita menyusuri lorong-lorong sempit kesedihan Karbala hingga ke istana-istana kekuasaan di Baghdad, Beirut, dan Tehran.
Nasr bukan sekadar pengamat. Ia adalah kartografer jiwa kolektif. Sejak halaman pertama, kita tidak dibawa ke medan tempur Irak atau Lebanon, melainkan dituntun masuk ke dalam ruang-ruang sunyi di mana identitas Syiah—yang lama dipinggirkan, dicurigai, dan disingkirkan—mulai menemukan suaranya. Kita merasakan getar haru seorang mukmin di Najaf yang menyentuh dinding makam Imam Ali, menyelami keputusan berat ulama di Qom yang menimbang antara perlawanan dan pragmatisme, serta menyaksikan kebangkitan kelas menengah Syiah di Beirut Selatan yang tak lagi mau menjadi warga kelas dua. Nasr menangkap bukan hanya politiknya, tetapi napasnya—amarah yang tertahan, harapan yang rapuh, dan tekad yang membatu setelah sekian lama dibungkam.
Vali Nasr menolak penyederhanaan hitam-putih. Ia bukan propagandis, melainkan penutur kisah kompleksitas. Melalui riset mendalam dan analisis cemerlang, kita melihat Ayatollah Sistani bukan sekadar ikon keagamaan, melainkan negarawan ulung yang bermain catur politik dengan sabar dan visioner. Kita memahami Hassan Nasrallah bukan sekadar pejuang bersenjata, tapi produk dari luka sejarah komunitasnya yang terusir dan teraniaya. Bahkan Iran, seringkali dilukiskan sebagai monster, hadir sebagai kekuatan dengan logika strategisnya sendiri—sebuah peradaban Persia-Syiah yang bangkit dari trauma revolusi dan perang, bertekad mengukir takdirnya sendiri.
Baca Juga: Buku Xi Jinping Jelaskan Cara Membangun Komunitas Manusia yang Berbagi Masa Depan
Tapi judulnya menyimpan kunci: Kebangkitan. Ini bukan sekadar pergeseran demografis atau kemenangan pemilu. Ini adalah tsunami politik dan kultural yang lahir dari tiga abad penindasan, peminggiran, dan kerinduan akan keadilan. Gelombang ini membanjiri puing-puing rezim Saddam Hussein di Irak, mengubah kaum tertindas menjadi penguasa. Ia mengalir deras ke Lebanon, mengubah Hezbollah dari gerilyawan menjadi kekuatan politik dominan. Ia menyusup ke Bahrain, Yaman, bahkan Saudi Timur, menjadi musik latar yang menggetarkan takhta-takhta monarki Sunni. Kebangkitan ini bukan proyek Iran semata; ia adalah letupan gunung berapi yang akarnya merambat jauh di dalam tanah subur ketidakadilan sejarah.
Kekuatan buku ini terletak pada bagaimana Nasr merajut benang merah yang sering luput: Agama sebagai Identitas Politik Modern. Ia menunjukkan bahwa pasca-2003, Syiah tidak bangkit meskipun modernitas, tetapi justru melalui alat-alat modern—pemilu, media, partai politik, masyarakat sipil. "Kebangkitan Syiah," tulisnya, "adalah anak kandung dari era nation-state yang sekarat dan kebangkitan kembali politik identitas." Ini bukan nostalgia abad pertengahan, melainkan respons cerdas dan terorganisir terhadap kekosongan kekuasaan dan kegagalan nasionalisme sekuler Arab. Kita menyaksikan bagaimana masjid dan husainiyah berubah menjadi pusat mobilisasi sosial, bagaimana ritual Ashura bukan hanya ekspresi duka, tetapi pengukuhan identitas politik, dan bagaimana jaringan ulama lintas batas (Qom-Najaf) membentuk arus informasi dan strategi yang mengalahkan batas negara.
Nasr menelanjangi tragedi besar kawasan ini: Kegagalan Elit Sunni. Bagaimana ketakutan buta dan arogansi historis menyebabkan monarki-monarki Teluk dan rezim-rezim nasionalis Arab menolak mengakui hak politik warga Syiah mereka sendiri. Penolakan inilah yang, ironisnya, membuka pintu lebar-lebar bagi pengaruh Iran. Ketika jalan politik damai ditutup, jalan perlawanan bersenjata—dengan atau tanpa dukungan Tehran—menjadi satu-satunya pilihan. Buku ini adalah cermin getir bagi Riyadh, Manama, dan Amman: demonisasi Syiah bukan strategi bertahan, melainkan bibit kehancuran. "Dengan menolak berbagi kekuasaan secara bermartabat," tegas Nasr, "mereka menyiram bensin pada api sektarian yang kemudian membakar rumah mereka sendiri."
Baca Juga: Buku Soldiers and Kings: Doa Laten di Tapal Batas Kemanusiaan yang Terkoyak
Membaca Kebangkitan Syiah di tengah gejolak Timur Tengah hari ini—surutnya Arab Spring, perang Yaman, ketegangan Teluk, kebangkitan ISIS yang anti-Syiah—adalah pengalaman yang mendebarkan sekaligus mengerikan. Nasr bagai peramal yang ramalannya terwujud: konflik sektarian bukan kecelakaan sejarah, melainkan konsekuensi langsung dari kegagalan mengelola pluralisme dan keadilan. Kita melihat bagaimana "demon" ketakutan sektarian yang dipelihara elit kini menjelma menjadi monster nyata—militerisasi masyarakat, fragmentasi negara, dan hilangnya ruang bersama. Api yang menyala di Irak pasca-Saddam terus membakar hingga ke Suriah, Yaman, dan lapis-lapis masyarakat yang terkoyak.
Yang membuat buku ini abadi adalah pesan universalnya: Identitas yang Tertindas Tak Pernah Mati; Ia Hanya Menunggu Saatnya Bangkit. Nasr mengingatkan bahwa politik penindasan dan penyangkalan adalah bom waktu. Kebangkitan Syiah adalah peringatan bagi semua rezim yang membangun stabilitas di atas ketidakadilan. Ia adalah cerita tentang harga yang harus dibayar ketika suara sebagian besar warga negara dibungkam, sejarah mereka dihapus, dan aspirasi politik mereka dikhianati. "Masa depan Timur Tengah," tulis Nasr dengan nada suram sekaligus prophetic, "tidak akan ditentukan oleh minyak atau senjata, tetapi oleh kemampuan (atau ketidakmampuan) kawasan ini untuk merangkul keragaman dan membangun tatanan politik yang inklusif."
Ada satu bab yang mengguncang, ketika Nasr menggambarkan Momen 2003 di Baghdad. Bukan ledakan bom atau jatuhnya patung Saddam, tetapi pemandangan warga Syiah—lelaki tua, ibu-ibu, pemuda—berkumpul pertama kalinya secara terbuka di Karbala untuk memperingati Arbaeen. Air mata yang tumpah bukan hanya duka untuk Husain, tetapi pelepasan dari belenggu ketakutan puluhan tahun. Saat itulah "kebangkitan" yang menjadi judul buku ini menjadi nyata: sebuah kekuatan spiritual, kultural, dan politik yang terpendam berabad-abad akhirnya menemukan ruang untuk bernapas—dan mengubah segalanya. Momen itu adalah titik balik yang, seperti gempa, gelombang kejutnya terus menggema hingga hari ini.
Baca Juga: Buku Nawal El Saadawi: "Perempuan di Titik Nol," Jeritan Perlawanan dari Dunia yang Membungkam
Kebangkitan Syiah bukan sekadar analisis politik. Ia adalah epos modern tentang pergulatan martabat, keadilan, dan harga diri. Vali Nasr menulis dengan ketajaman akademis namun disampaikan dengan ketegangan naratif seorang novelis. Ia meninggalkan kita dengan pertanyaan yang menggelitik sekaligus menakutkan: Apakah kebangkitan ini akan melahirkan tatanan baru yang lebih adil, atau justru menjadi awal dari fragmentasi dan konflik berkepanjangan yang lebih dalam? Jawabannya, kata Nasr, tidak terletak pada teologi, tetapi pada pilihan politik manusia—pilihan untuk membangun jembatan atau menebar ranjau, untuk mengakui sesama atau menguburnya dalam kuburan sektarianisme.