Resensi Buku How Democracies Die (2018) Karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt: Membaca Ulang Demokrasi Kontemporer
- Penulis : Irsyad Mohammad
- Selasa, 05 Agustus 2025 15:42 WIB

ORBITINDONESIA.COM- Tulisan ini Adalah sebuah resensi buku best-seller di dunia internasional yang menjadi catatan kritis terhadap demokrasi kita hari ini. Buku yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt serta terbit pada 2018 ini mengajak kita untuk merenungi demokrasi kita hari ini. Kedua ilmuwan politik dari Universitas Harvard ini menulis dengan baik sekali, bahkan memberikan komparasi politik atas berbagai pelaksanaan demokrasi di dunia.
Demokrasi Tidak Mati dengan Dentuman, Tapi dengan Tepuk Tangan
Kita sering membayangkan akhir dari sebuah demokrasi sebagai sesuatu yang dramatis—kudeta militer, bentrokan berdarah, atau parade tank di jalanan. Namun Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengajak kita membuang imajinasi Hollywood itu. Dalam Why Democracies Die, mereka menunjukkan kenyataan yang lebih sunyi sekaligus lebih mengerikan: demokrasi sering kali mati perlahan, tidak dengan ledakan, melainkan dengan tepuk tangan rakyatnya sendiri. Bukan oleh pemberontak yang datang dari luar, tetapi oleh pemimpin yang lahir dari kotak suara.
Baca Juga: Resensi Buku Age of Empire: 1875–1914: Sihir Kekuasaan dan Darah Koloni
Buku ini membawa kita mengintip lembar-lembar sejarah kontemporer: Hugo Chávez di Venezuela, Viktor Orbán di Hungaria, Recep Tayyip Erdoğan di Turki, bahkan Donald Trump di Amerika Serikat. Mereka tidak pernah tampil sebagai musuh demokrasi. Sebaliknya, mereka membungkus diri sebagai pembaharu yang datang untuk “memurnikan” sistem. Namun, langkah demi langkah, mereka melemahkan institusi, mengganggu independensi pengadilan, mengintimidasi pers, dan membatasi oposisi.
Yang membuat proses ini begitu sulit dideteksi adalah kemampuannya menyaru sebagai reformasi. Rakyat menyambutnya karena percaya inilah jalan menuju demokrasi yang lebih bersih. Padahal, perlahan-lahan, jalan itu mengarah pada demokrasi yang tinggal kulitnya saja. Levitsky dan Ziblatt seperti berkata: “Kita tak akan sadar demokrasi telah mati, sampai kita bangun dan mendapati bahwa semua pintu sudah terkunci dari dalam.”
Norma Tak Tertulis: Tiang Penyangga yang Runtuh Tanpa Suara
Salah satu gagasan paling kuat dari buku ini adalah bahwa demokrasi tidak hanya disangga oleh konstitusi dan hukum tertulis. Ia juga bertumpu pada norma tak tertulis—kontrak sosial yang rapuh—yang mengatur perilaku para politisi. Dua di antaranya menjadi inti pembahasan: mutual toleration (pengakuan bahwa lawan politik adalah rival sah, bukan musuh yang harus dimusnahkan) dan institutional forbearance (kesediaan menahan diri untuk tidak menggunakan semua kekuasaan legal yang dimiliki demi keuntungan jangka pendek).
Ketika norma-norma ini terkikis, demokrasi mulai meranggas dari dalam. Para politisi menggunakan setiap celah hukum untuk menekan lawan. Oposisi tidak lagi dianggap bagian dari demokrasi, melainkan ancaman eksistensial. Setiap tindakan dibenarkan demi “menyelamatkan negara” dari mereka. Dan begitu mutual toleration hilang, semua kompromi menjadi mustahil; yang tersisa hanyalah pertarungan zero-sum.
Levitsky dan Ziblatt menelusuri sejarah Amerika untuk menunjukkan bahwa bahkan negara yang dianggap benteng demokrasi pun tidak kebal dari erosi norma ini. Di masa lalu, politik AS juga pernah diracuni oleh polarisasi ekstrem—dari era Perang Sipil hingga masa segregasi rasial. Bedanya, dulu ada mekanisme informal yang menahan politisi untuk tidak memukul lawan sampai mati secara politik. Kini, mekanisme itu runtuh di tengah arus media partisan, krisis kepercayaan publik, dan strategi politik yang memanfaatkan kemarahan sebagai bahan bakar elektoral.
Baca Juga: Resensi Buku Collapse (2005): How Societies Choose to Fail or Succeed Karya Jared Diamond
Norma ini, kata mereka, runtuh bukan dengan gebrakan, tapi dengan pembiaran. Seperti rayap, ia menggerogoti kayu dari dalam, sampai suatu hari tiang demokrasi ambruk, dan kita baru sadar betapa rapuhnya ia sejak awal.