Ali Samudra: Takdir di Mata Manusia Modern - Membaca Qodho dan Qadhar tanpa Fatalisme
Oleh Ali Samudra
ORBITINDONESIA.COM - Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, rasional, dan sarat tuntutan hasil, kata takdir sering terdengar tidak lagi ramah. Ia kerap diasosiasikan dengan kekalahan, kegagalan, atau ketidakmampuan berjuang. Kalimat “Sudahlah, ini sudah takdir” acap kali diucapkan bukan dengan ketenangan iman, melainkan dengan nada putus asa.
Di sisi lain, manusia modern juga gemar mengultuskan usaha, seolah segala sesuatu sepenuhnya berada di tangan manusia. Kerja keras dipandang sebagai satu-satunya penentu nasib. Jika gagal, kesalahan segera diarahkan pada kurangnya kecerdasan, ketekunan, atau keberanian mengambil risiko. Dalam dua ekstrem ini—fatalisme di satu sisi dan kesombongan usaha di sisi lain—makna takdir menjadi kabur.
Padahal, dalam Islam, takdir tidak pernah dimaksudkan untuk mematikan akal, melumpuhkan etos kerja, atau membenarkan kezaliman. Justru sebaliknya, konsep Qodho dan Qadhar adalah fondasi keseimbangan antara iman, akal, ikhtiar, dan keadilan Ilahi.
Memahami Qodho dan Qadhar
Secara bahasa Arab, Qodho (قضاء) berasal dari akar kata qaḍā yang bermakna: memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan secara pasti. Adapun Qadhar (قدر) berasal dari akar kata qadara yang berarti: mengukur, menakar, memberi batas dan ukuran.
Secara sederhana, Qodho adalah ketetapan Allah yang bersifat azali dan universal, sedangkan Qadhar adalah bagaimana ketetapan itu berlangsung dalam kehidupan nyata melalui sebab, pilihan, dan proses. Qodho berada dalam wilayah ilmu dan kehendak Allah, sementara Qadhar terjadi di ruang dan waktu kehidupan manusia.
Al-Qur’an menegaskan prinsip ini: “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran.” (QS. Al-Qamar: 49)
Ayat ini sering disalahpahami sebagai penegasan nasib mati yang menutup ruang usaha. Padahal, kata qadar justru menegaskan adanya hukum, ukuran, dan keteraturan—bukan paksaan buta atau kekacauan.
Lauh Mahfuzh: Apakah Segalanya Sudah ‘Tertulis’?
Pertanyaan klasik pun muncul: “Jika semua sudah tertulis di Lauh Mahfuzh, untuk apa usaha?”
Al-Qur’an menyatakan: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu, melainkan telah tertulis dalam Kitab sebelum Kami mewujudkannya.” (QS. Al-Hadid, 57:22)
Yang sering luput dipahami adalah bahwa “tertulis” tidak identik dengan “dipaksakan.” Lauh Mahfuzh adalah simbol ilmu Allah yang sempurna, bukan skenario mekanis yang menghapus kehendak manusia. Pengetahuan Allah tidak sama dengan pemaksaan Allah. Mengetahui bahwa matahari akan terbit esok hari tidak menyebabkan matahari itu terbit. Demikian pula, ilmu Allah tentang pilihan manusia tidak meniadakan tanggung jawab manusia atas pilihannya.
Analogi Lalu Lintas: Takdir dan Tanggung Jawab
Agar lebih mudah dipahami, bayangkan sistem lalu lintas.
Qodho adalah jalan, marka, lampu merah, rambu, dan hukum lalu lintas—sebuah sistem yang tidak bisa diubah oleh pengemudi.
Qadhar adalah cara manusia menggunakan sistem itu: mau tertib atau melanggar, berhati-hati atau sembrono.
Jika terjadi kecelakaan, sistem jalan bukan penyebab langsungnya, melainkan cara manusia menggunakannya. Dalam kecelakaan beruntun, orang yang taat aturan pun bisa ikut menjadi korban. Apakah ini takdir? Ya—dalam arti Qodho, karena hidup memang mengandung risiko kolektif. Namun sebab kecelakaannya tetap berada di wilayah Qadhar manusia, bukan kehendak Allah untuk menzalimi.
Al-Qur’an menegaskan: “Dan Tuhanmu tidaklah menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fussilat, 41: 46)
Takdir tidak menghapus tanggung jawab, justru memberi ruang bagi keadilan dan akuntabilitas.
Analogi Waktu 24 Jam
Setiap manusia diberi waktu yang sama: 24 jam sehari. Tidak bisa ditambah atau dikurangi—itulah Qodho. Namun bagaimana 24 jam itu digunakan—untuk kebaikan atau kelalaian—itulah Qadhar. Waktu yang sama dapat melahirkan peradaban di tangan sebagian bangsa dan stagnasi di tangan bangsa lain.Takdir memberi batas, bukan hasil.
Qodho adalah apa yang tidak bisa kita ubah; Qadhar adalah apa yang kita lakukan dengan apa yang bisa kita ubah.
Martin Heidegger dan Keterlemparan Manusia
Filsuf Jerman Martin Heidegger menyebut manusia sebagai makhluk Geworfenheit—thrownness, keterlemparan ke dunia. Kita tidak memilih untuk dilahirkan, dari orang tua siapa, di zaman apa, dan dalam tubuh seperti apa. Kita harus menghadapi kondisi yang sudah ada. Ini sejalan dengan konsep Qodho.
Namun “keterlemparan” di sini bukan pesimisme, melainkan kesadaran awal eksistensi. Makna hidup ditentukan oleh bagaimana manusia merespons kondisi yang tidak ia pilih. Islam melangkah lebih jauh: keterlemparan bukan absurditas, melainkan amanah dan ujian. “Tidaklah Kami menciptakan sesuatu dengan sia-sia.” (QS. Ali ‘Imran, 3: 190–191)
Takdir, Usaha, dan Tawakkal
Allah berfirman: “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. At-Thalaq, 65 : 2–3)
Tawakkal bukan sikap pasif. Ia adalah penyerahan hasil setelah usaha maksimal. Ungkapan “man jadda wajada” (siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil) memang bukan hadits, tetapi sejalan dengan prinsip Al-Qur’an:“Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, pasti Kami tunjukkan jalan-jalan Kami.” (QS. Al-‘Ankabut, 29 : 69) Usaha adalah kewajiban manusia; hasil adalah wilayah Allah.
Rezeki, Burung, dan Kesalahpahaman Fatalistik
Pendapat yang mengatakan bahwa, semua mahluk telah dijamin rizkinya oleh Allah, bukan berarti hidup tidak mebutuhkan usaha keras.
Rasulullah bersabda: " Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, yang keluar pagi hari dalam keadaan lapar lalu sore hari pulang dalam keadaan kenyang." (HR Tirmizi, Ibnu Majah, dan Akmad)
Burung-burung itu tidak hanya diam di sarangnya, menunggu makanan jatuh dari langit, Ia terbang, berisiko, dan berusaha. Tawakkal tidak pernah berarti malas. Tawakal tidak berarti pasif, melainkan harus didahului dengan tindakan dan kerja keras semaksimal mungkin.
Umur, Takdir, dan Okinawa
Jika umur sudah ditetapkan, mengapa penduduk Okinawa di Jepang banyak yang hidup di atas 100 tahun? Ini bukan pelanggaran takdir, melainkan contoh Qadhar bekerja melalui sebab, melalui hukum-hukum biologi: pola makan sehat, ketenangan jiwa, ikatan sosial kuat, dan hidup sederhana. Ajal ditetapkan Allah, tetapi jalan menuju ajal penuh dengan sebab yang bisa dijaga.
Musibah Kolektif dan Tanggung Jawab Moral
Ketika banjir besar melanda Sumatra, menyebutnya semata-mata “takdir” adalah penyederhanaan. Benar bahwa hujan dan kondisi geografis adalah bagian dari Qodho. Namun deforestasi, tata kelola buruk, dan korupsi adalah wilayah Qadhar manusia.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41)
Korban tidak sedang dihukum, melainkan diuji dan dimuliakan (Syahid). Takdir bukan alat menyalahkan korban, tetapi panggilan tanggung jawab bagi yang selamat. Di sini takdir harus dibaca dengan keadilan dan empati, bukan simplikasi.
Jodoh, Rezeki, dan kematian di tangan Allah
Banyak orang berkata: "Kalau sudah jodoh tidak akan kemana."
"Kalau sudah rezeki tidak akan tertukar."
Kalimat ini benar secara Qodho, tetapi berbahaya jika dipakai untuk meniadakan qodhar.
Ungkapan ini benar, tetapi sering disalahpahami. Artinya: Allah pemilik hukum dan hasil akhir, manusia tetap diminta berusaha: mencari jodoh dengan adab, mencari rezeki dengan jalan halal dan kerja sunguh-sungguh, serta menjaga kehidupan dengan akal dan kehati-hatian.
Takdir tidak meniadakan iktiar; takdir justru memberi makna, arah dan batas bagi manusia. Takdir bukan alasan berhenti berusaha, melaikan jaminan bahwa usaha tidak pernah sia-sia.
Penutup: Takdir sebagai Kompas
Krisis umat Islam hari ini bukan kekurangan ibadah, melainkan kekurangan pemahaman. Takdir kerap dijadikan dalih kemalasan, bukan sumber keberanian. Padahal: Qodho memberi batas, Qadhar memberi ruang, Ikhtiar memberi arah, dan keadilan Allah meliputi semuanya.
Takdir bukan penjara bagi manusia modern. Ia adalah kompas agar manusia tidak tersesat antara kesombongan dan keputusasaan. Berusaha sepenuh hati, berdoa sepenuh jiwa, dan menerima hasil dengan lapang dada—itulah iman yang hidup.***
Pondok Kelapa, 26 Desember 2025
*Ali Samudra, Pembina Yayasan Masjid Baitul Muhajirin.
(Tulisan ini adalah pengantar diskusi Ba'da Sholat Jumat, 26 Desember 2025 Masjid Baitul-Muhajirin - Pondok Kelapa - Jakarta Timur) ***