Resensi Buku Why Nations Fail (2012) karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson: Analisis Kegagalan Sebuah Negara
- Penulis : Irsyad Mohammad
- Selasa, 05 Agustus 2025 16:14 WIB

ORBITINDONESIA.COM- Jika Anda pernah bertanya mengapa sebagian negara melesat menjadi pusat kemakmuran sementara yang lain terjebak dalam kemiskinan yang tampak abadi, maka buku best-seller berjudul Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2012) adalah solusinya. Buku ini menawarkan jawabannya dengan ketajaman analisis dan kisah sejarah yang memukau. Lewat perpaduan riset ekonomi, politik, dan sejarah lintas benua, buku ini membongkar mitos-mitos lama tentang peran geografi atau budaya, dan menempatkan institusi politik sebagai kunci nasib bangsa. Dari perbatasan Nogales yang terbelah antara AS dan Meksiko, hingga kisah jatuh-bangunnya negara-negara Afrika, Asia, dan Eropa, pembaca diajak memahami bahwa kemakmuran lahir dari sistem yang inklusif—dan bahwa kemiskinan sering kali bukan takdir, melainkan hasil dari pilihan kekuasaan yang disengaja.
Kemakmuran Bukan Soal Letak, Sumber Daya, atau Budaya
Sejak lama, para ekonom dan sejarawan mencari jawaban mengapa sebagian negara kaya, sementara yang lain tetap miskin. Ada yang menyalahkan letak geografis, ada yang menunjuk rendahnya sumber daya alam, ada pula yang menuduh budaya tertentu kurang mendukung kemajuan. Why Nations Fail hadir untuk membongkar mitos itu dengan tegas.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson memulai bukunya dengan serangkaian contoh mencolok: perbatasan Nogales di Amerika Serikat dan Meksiko, Korea Utara dan Korea Selatan, bahkan Botswana dan negara-negara Afrika lain yang memiliki kondisi alam serupa. Mereka menunjukkan bahwa perbedaan nasib bukanlah hasil dari geografi atau etnis, melainkan dari institusi politik dan ekonomi yang dibangun di negara tersebut.
Kuncinya ada pada dua tipe institusi: inklusif dan ekstraktif. Institusi inklusif memberi hak dan peluang luas kepada warga untuk berpartisipasi dalam politik dan ekonomi, menciptakan inovasi, dan mempertahankan hak milik. Institusi ekstraktif, sebaliknya, dikuasai oleh segelintir elite yang menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri, membatasi akses, dan menyingkirkan pesaing. Perbedaan inilah yang menentukan apakah sebuah negara akan tumbuh subur atau terjebak dalam kemiskinan sistemik.
Bagi Acemoglu dan Robinson, kemakmuran bukanlah hadiah alam, melainkan buah dari rekayasa politik. Negara dengan institusi inklusif, seperti Inggris setelah Revolusi Glorious 1688, memiliki fondasi untuk tumbuh. Sementara negara dengan institusi ekstraktif, meski kaya sumber daya seperti Sierra Leone atau Venezuela, justru terjebak dalam “kutukan sumber daya” karena kekayaan itu dipakai untuk memperkuat cengkeraman elite, bukan kesejahteraan rakyat.
Baca Juga: Resensi Buku Collapse (2005): How Societies Choose to Fail or Succeed Karya Jared Diamond
Politik adalah Jantung Ekonomi
Buku ini menolak pandangan sempit bahwa ekonomi bisa berkembang hanya dengan kebijakan teknis atau resep pembangunan yang bersifat netral. Acemoglu dan Robinson menunjukkan bahwa di balik setiap kebijakan ekonomi, ada perebutan kekuasaan politik yang menentukan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan.
Mereka memperkenalkan konsep critical junctures—momen sejarah yang membuka peluang perubahan besar, seperti perang, revolusi, atau krisis ekonomi. Negara yang memiliki elite politik mau berbagi kekuasaan biasanya mampu memanfaatkan momen itu untuk membangun institusi inklusif. Namun, di negara dengan elite yang takut kehilangan posisi, momen krisis justru dimanfaatkan untuk memperkuat institusi ekstraktif.
Contohnya, Revolusi Industri hanya mungkin berkembang di Inggris karena ada perlindungan hak paten, kebebasan berusaha, dan sistem hukum yang relatif independen. Sementara di Kekaisaran Austria-Hungaria atau Kekaisaran Ottoman, teknologi baru dihambat karena dianggap mengancam monopoli ekonomi kaum bangsawan.