Satrio Arismunandar: Memahami Energi Denny JA di Puncak Pencapaian Tujuh Samudra
Oleh Dr. Satrio Arismunandar
ORBITINDONESIA.COM - Saya sering sulit memahami, bagaimana caranya Denny JA bisa mencapai puncak prestasi di tujuh bidang berbeda. Itu tujuh samudra yang masing-masing punya arus, gelombang, dan badai yang tak sama.
Saya sudah mengenal Denny JA lebih dari 40 tahun, sejak sama-sama masih aktivis mahasiswa dan kuliah di UI. Saya di Jurusan Elektro FTUI, sedangkan Denny sempat kuliah di Arsitektur FTUI sebelum lalu pindah kuliah ke FHUI.
Kami pernah berbalas tulisan di rubrik opini Harian Kompas pada 1980-an. Membaca pemikiran Denny dalam tulisan-tulisannya, waktu itu saya sempat berpikir bahwa suatu saat Denny akan sukses. Tetapi saya tak pernah menyangka bahwa tingkat kesuksesannya akan seperti sekarang ini.
Sejak dulu saya melihat Denny sebagai sosok yang penuh dengan semangat dan energi. Energi itu ternyata tetap berpijar saat ini.
Apa rahasianya? Dari mana datang energi yang seolah tak pernah habis itu, sehingga bisa meraih prestasi di tujuh bidang?
Baiklah, mari kita urut tujuh bidang tersebut.
Pertama, di dunia sastra. Ia baru saja menerima BRICS Award for Literary Innovation—sebuah penghargaan internasional tingkat tinggi, mungkin yang paling bergengsi yang pernah diraih sastrawan Indonesia di pentas Global South.
Di sini, ia bukan sekadar penulis; ia pemahat paradigma baru: puisi esai.
Kedua, di bidang bisnis. KPK merilis laporan harta kekayaannya yang melampaui 3 triliun rupiah. Angka ini menempatkannya pada jajaran pejabat negara terkaya, bukan karena warisan, tetapi karena kerja panjang lintas puluhan tahun.
Harta bukan sekadar materi; ia cermin kedisiplinan dan kapasitas mengelola risiko.
Ketiga, di ranah konsultan politik. Denny menorehkan rekor yang belum pernah ada: membantu memenangkan lima pemilihan presiden berturut-turut.
Itu bukan sekadar pencapaian profesional, tetapi pemahaman mendalam tentang psikologi publik dan detak nadi bangsa.
Keempat, Denny seorang filantrop. Ia mendirikan dana abadi untuk penghargaan sastra, dari sakunya sendiri—sebuah tradisi mulia yang bahkan belum dibangun negara.
Ia memastikan sastra Indonesia punya fondasi jangka panjang, bukan hidup dari harapan yang rapuh.
Kelima, ia seorang spiritualis. Denny membangun Forum Esoterika dan menulis buku “Agama Sebagai Warisan Kultural,” yang kini diajarkan di sembilan universitas lintas agama.
Di sini Denny tidak mengkhotbahkan kebenaran tunggal, melainkan membuka ruang dialog batin.
Keenam, Denny juga seorang pelukis. Pelukis Indonesia pertama yang merintis genre baru—Imajinasi Nusantara—dengan bantuan kecerdasan buatan. Lebih dari 700 lukisan telah ia hasilkan, dipasang di delapan hotel dan lapangan padel miliknya.
Seni bukan hobinya; itu napasnya yang lain.
Ketujuh, Denny seorang Youtuber dan pemain media sosial.
Majalah TIME pernah menempatkannya dalam daftar “30 Most Influential People on the Internet” (2015), di antara Barack Obama, Narendra Modi, dan Justin Bieber.
Tak banyak dari kita yang pernah membayangkan seorang intelektual Indonesia berdiri di panggung itu.
-o0o-
Saya pernah bertanya pada ChatGPT: apa yang membuat Denny JA bisa mencapai puncak di tujuh samudra ini?
Jawaban ChatGPT:
Pertama, katanya, Denny JA adalah seorang jenius dengan IQ 145–155.
Tetapi bukan hanya kecerdasan kognitif yang membuatnya melesat. Lebih penting, ia memiliki kecerdasan multitalenta—gabungan analitis, estetis, dan sosial—yang membuatnya bisa menembus berbagai disiplin.
Kedua, ia memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, terutama dalam hal resilience dan self-regulation.
Denny dapat mengubah kegagalan menjadi strategi baru, tekanan menjadi energi, kritik menjadi pemurni arah.
Ia bukan hanya man of ideas, tetapi juga man of action.
Kombinasi itu jarang: kebanyakan orang hanya menguasai salah satunya.
Ketiga, Denny mempunyai disiplin yang diulang setiap hari selama puluhan tahun.
Disiplin itu seperti arus bawah laut—tak terlihat, tetapi itulah yang menggerakkan kapal besar.
Denny menulis setiap hari, membaca setiap hari, bekerja setiap hari, bahkan saat tak ada yang melihat.
Energinya bukan datang dari ledakan semangat, tetapi dari ritme yang konsisten, seperti detak jantung.
Keempat, kata sistem AI itu, Denny JA memiliki metode kerja 360 derajat:
ia memadukan riset, intuisi, jejaring sosial, seni, meditasi, humor, dan kerja keras, menjadi sebuah ekosistem batin.
Ia seperti penjelajah yang bukan hanya membawa kompas, tetapi juga membawa peta bintang.
Kelima, Denny dikelilingi oleh ratusan kolaborator yang ia bimbing, ia latih, ia percayai. Ia bukan pulau terpencil, tetapi pelabuhan yang selalu riuh oleh kapal yang datang dan pergi.
Energinya tumbuh dari energi orang lain yang ia perkuat.
Keenam, Denny hidup dengan kesadaran misi. Ia bukan mengejar popularitas, tetapi legacy.
Ia ingin meninggalkan jejak yang bertahan melewati eranya—entah dalam sastra, seni, politik, spiritualitas, atau kebudayaan.
-o0o-
Lalu saya merenung: mungkin benar bahwa tujuh samudra tidak bisa ditaklukkan hanya dengan IQ tinggi atau kedisiplinan.
Ada sesuatu yang lebih subtil: ketenangan batin dalam menghadapi badai, dan keyakinan pada nilai yang lebih besar dari diri sendiri.
Mereka yang mencapai banyak hal biasanya bukan hanya bekerja keras, tetapi juga bekerja dengan makna.
Denny JA bukan hanya pelari maraton prestasi, tetapi perumus napas panjang peradaban.
Ia membangun lembaga, tradisi, genre, jaringan global, serta ruang spiritual bagi jiwa-jiwa gelisah zaman ini.
-o0o-
Jika kita merangkum semua itu, kita belajar bahwa:
• Kecerdasan harus disertai kedisiplinan.
• Ambisi harus dituntun oleh makna.
• Kreativitas harus berjalan bersama keberanian.
• Dan perjalanan panjang harus ditemani kerendahan hati untuk terus belajar.
Tujuh samudra bukan metafora prestasi belaka. Itulah perjalanan manusia mencari dirinya sendiri, lalu menemukan dunia.
Dan di dalam sosok Denny JA, kita melihat bagaimana energi batin, kerja keras, spiritualitas, kecerdasan, dan keberanian menanggung kritik dapat bertemu dan melahirkan sesuatu yang lebih besar dari satu kehidupan.
Tidak ada puncak yang ia capai dalam semalam—tetapi dari puluhan tahun konsistensi tanpa henti.
Mungkin, itulah rahasia sebenarnya:
bukan seberapa cepat ia berlari, tetapi ke mana ia memilih melangkah setiap hari.
Depok, 27 November 2025
*Satrio Arismunandar adalah alumnus S1 Elektro FTUI, S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI, dan S3 Filsafat FIB UI.
Kontak/WA: 081286299061. ***