Haidar Bagir: Lembong, Nadiem, dan Ira

Oleh Haidar Bagir 

ORBITINDONESIA.COM - Disclaimer: Ini bukan karya tulis yang terkait dengan diskusi legal, apalagi politik. Tulisan ini hanya ungkapan hati seorang warga negara awam hukum, tapi insyaAllah masih memiliki kewarasan dan hati nurani, terhadap rezim peradilan di negerinya. 

Saya sudah berbisnis selama 45 tahun. Sejak saya masih mahasiswa. Sampai sekarang saya juga masih memimpin sebuah perusahaan. Memang bukan perusahaan yang besar-besar amat. Tapi insyaAllah tak bisa juga disebut sebagai perusahaan gagal. Malah saya pernah terpilih menjadi salah satu  CEO terbaik Indonesia, hasil penilaian Majalah SWA bersama konsultan bisnis Dunamis (kalau saya tak salah ingat). 

Dengan demikian, hati saya selalu teriris, kadang lukanya tak bisa segera hilang, jika mendengar ada pejabat profesional yang dihukum karena alasan "mismanagement". Sudah disebut koruptor, padahal tak pernah bisa dibuktikan memperkaya diri, mereka dihukum karena sebuah aksi korporasi tunggal sambil prestasi panjang mereka secara keseluruhan dibuang ke sampah.

Padahal, kalau pun mereka secara keseluruhan dianggap gagal, tapi mereka  tidak terbukti melakukan dengan sengaja tindakan memperkaya diri atau memperkaya orang lain, tetap saja orang begini tak seharusnya dipidana. After all, mereka dipilih oleh Dewan Komisaris Perusahaan, dan sebelumnya dianggap mampu. 

Dalam bisnis, selalu ada manajer baik, dan ada manajer buruk. Tapi dalam bisnis, tak pernah tak ada risiko. Selalu ada risiko aksi yang kita lakukan akibat salah perhitungan, atau ada faktor-faktor tak terduga, yang menyebabkan kita - dibilang - merugikan perusahaan. Namanya calculated risk (risiko yang diperhitungkan). 

Kalau tak ada risiko, namanya bukan bisnis. Risiko dan bisnis adalah dua sisi dari satu mata uang logam yang sama. 
Saya bisa menunjukkan banyak referensi ilmu bisnis untuk menunjukkan hal ini. Tapi masalahnya sudah cukup "ceto welo-welo" alias gamblang segamblang-gamblangnya, sehingga tak perlu lagi harus minta tolong pada referensi ilmu bisnis untuk memahaminya. 

Dalam dunia bisnis, risiko adalah bagian inheren dari setiap langkah yang diambil. Tidak ada keputusan bisnis—kecil maupun besar—yang bebas dari ketidakpastian. Setiap upaya untuk menciptakan nilai membawa kemungkinan kegagalan, sebagaimana setiap peluang keuntungan menuntut keberanian untuk menerima konsekuensinya. Karena masa depan tidak pernah sepenuhnya dapat diprediksi, risiko menjadi syarat keberadaan bisnis itu sendiri.

Risiko menyatu dengan dinamika pasar, perubahan perilaku konsumen, ketidakstabilan ekonomi, perkembangan teknologi, serta kompetisi yang terus berkembang. Bisnis bergerak di antara berbagai variabel yang tidak sepenuhnya dapat dikendalikan.

Sehingga, sikap menafikan risiko justru berlawanan dengan hakikat bisnis. Yang dibutuhkan bukanlah meniadakan risiko, melainkan mengenalinya, menghitungnya, dan mengelolanya secara sebijaksana mungkin.

Jika keuntungan adalah imbalan atas kerja keras, maka keberanian menanggung risiko merupakan harga yang harus dibayar oleh siapa pun yang ingin meraih peluang. Sebab, bisnis yang steril dari risiko hanyalah ilusi, sementara bisnis nyata adalah arena yang di dalamnya keberanian, kehati-hatian, dan ketidakpastian bertemu.

Dengan kesadaran ini, risiko tidak lagi dipahami sebagai sumber kesalahan, melainkan sebagai bagian integral dari proses usaha. Justru, hanya melalui kesiapan menerima  risiko, sebuah bisnis dapat bertumbuh, berinovasi, dan menemukan jalannya menuju keberhasilan.

Saya pun, meski pernah dipilih menjadi CEO terbaik Indonesia itu – memang dengan kriteria yang berbeda — pernah juga melakukan kesalahan yang menimpakan kerugian cukup besar atas perusahaan yang di dalamnya saya bekerja (dan yang saya maksud ini bukanlah perusahaan yang saya ikut menjadi pemiliknya, melainkan perusahaan milik pihak lain). 

Tapi, apakah kemudian saya (harus) dipecat, apalagi dilaporkan sebagai melakukan fraud? Kenyataannya tidak. Karena semua tahu bahwa yang terjadi itu adalah sebuah "kecelakaan" yang nyaris terjadi di luar kendali saya sebagai pimpinan. Sdwmgan kata lain, itu bagian dari risiko. 

Atau, kalau pun saya salah dalam satu kejadian ini, yang berwewenang memecat saya akan melihat prestasi saya secara keseluruhan, dan menimbangnya dari perspektif yang lebih luas. Karena risiko  adalah sesuatu yang niscaya dalam bisnis. 

Maka sudah betul dissenting opinion Ketua Majelis Hakim persidangan atas Ibu Ira Puspadewi kemarin. Hakim Sunoto, sambil menyatakan bahwa tidak seharusnya Ibu Ira dan dua Direktur ASDP dihukum karena sama sekali tak terbukti memperkaya diri, menyatakan: “Hal ini (menghukum Ibu Ira-HB) pada akhirnya akan merugikan kepentingan nasional karena kepentingan BUMN memerlukan keberanian untuk berorganisasi dan berkembang agar (bisa) bersaing di tingkat global,”

"Pemidanaan ini dinilai dapat membuat para direksi BUMN takut untuk mengambil keputusan yang berisiko, meski itu diperlukan oleh Indonesia." 

Dan ibu Ira bukan satu-satunya korban, saya tahu bahwa sebelumnya sudah ada korban-korban vonis yang bisa dipersoalkan seperti ini. Sebagian orangnya saya kenal baik sebagai profesional-profesional yang berintegritas. Dan orang pun tentu belum lupa pada kasus Tom Lembong.

Dengan menulis ini orang mungkin akan mencecar saya, dari mana saya tahu bahwa mereka betul-betul tidak korupsi? Dalam kasus Tom Lembong dan Ibu Ira Puspadewi, sudah bisa dibuktikan dengan kesepakatan bulat bahwa tidak ada uang yang masuk ke kantong pribadi mereka. Bahkan, pernyataan apakah tindakan korporasi mereka berdua itu salah, masih amat bisa diperdebatkan. 

Kalau pun ada yang berpendapat bahwa tindakan yang dituduhkan atas mereka itu salah, orang harus kembali kepada prinsip bahwa bisnis itu tak pernah bisa dilepaskan dari risiko.

Di atas semua itu, sebagai pribadi saya yakin mereka adalah orang-orang baik yang membela negeri ini dengan profesionalisme dan keahlian mereka. Haqqul yaqin! 

Saya tak kenal. Tom Lembong, tapi saya kenal Ibu Ira. Saya pernah bekerja sangat dekat dengan suaminya, sehingga cukup kenal dengan keluarga profesional idealis ini. Bagi yang tidak kenal, cukup bacalah tulisan ikhlas orang-orang yang mengenal kualitas dan kebaikan hati Ibu Ira ini. 

Saya juga tak begitu kenal pribadi dengan Nadiem Makarim, yang sekarang juga menghadapi tuduhan korupsi, meski pernah beberapa kali berinteraksi dengannya. Saya juga yakin, bahwa pengadilan tak akan pernah bisa membuktikan bahwa Nadiem mencuri uang negara. Tuduhan itu terlalu jauh dari pengetahuan saya tentang Nadiem sebagai profesional dan kedua orangtua antikorupsi yang mendidiknya. 

Kalau pun nanti ada yang menganggap bahwa kebijaksanaan pengadaan Chromebook itu salah maka, setiap bisnis, setiap kepemimpinan yang mengharuskan aksi pengambilan kebijakan, selalu mengandung risiko. Bahkan bisa juga didasarkan pada pertimbangan yang belakangan terbukti tidak tepat. 

Tapi, saya bisa saja tak setuju dengan sebagian kebijakan Nadiem, perasaan saya meyakinkan saya bahwa Nadiem tak layak dipidana. 
Masih banyak "bangsat" — maksud saya kutu-kutu busuk - yang menilep uang negara ketika menjabat tapi bebas berkeliaran. Umumnya mereka bukan profesional, atau mungkin hanya profesional medioker.

Di negeri, sudah menjadi rahasia umum, banyak orang begini masih bebas karena pembiaran. Baik karena mereka punya deking politik kuat, atau punya uang banyak —umumnya hasil korupsi —untuk membeli perlindungan. Sebagian dikesankan berada dalam buronan, tapi tak kunjung tertangkap juga.

Nah, kalau para profesional sejati ini ditangkapi dan dipidana, sementara bangsat-bangsat itu bebas berkeliaran, akan jadi apa bangsa ini? Akan jadi apa BUMN-BUMN dan kantor-kantor pemerintahan kita? 

Mari merenung, dengan sesempit apa pun sisa-sisa ruang dalam hati nurani kita. Itu pun kalau masih ada ruang sisa di dalamnya.... ***